Perjanjian dalam Sejarah Sulsel
Arung
Palakka, Koningh Der Bougies. Perjuangannya membebaskan rakyat Bone-Soppeng
dari ‘Penjajahan’ Gowa banyak diwarnai dengan Ulu Ada (Perjanjian) dalam Abad
17. (ist)
MASYARAKAT Bugis Makassar adalah
masyarakat yang suka membuat perjanjian (Bugis : Ulu Ada’, Makassar : Ulu
Kana), bukan hanya dalam kehidupan sosial, tetapi juga dalam konteks
kehidupan politik berpemerintahan. Terbentuknya kerajaan dan diangkatnya
Tomanurung menjadi raja pertama dalam banyak catatan lontaraq selalu diawali
dengan perjanjian atau kontrak politik, sebuah ikatan janji antara pemimpin
dengan rakyatnya. Ini berarti sudah ada rekam jejak kehidupan demokratis di
masa lampau meski pemerintahan berjalan atas dasar sistem kerajaan.
Secara harfiah, Ulu Ada’ (Bugis)
atau Ulu Kana (Makassar) berarti pangkal pembicaraan. Kata ini dimaknai
sebagai Perjanjian. Misalnya Perjanjian di Tamalate (Makassar : Ulu Kanayya
ri Tamalate’, Bugis : Ulu Adae’ ri Tamalate). Saya periksa semua
kata yang digunakan untuk menamai suatu perjanjian antar raja dan kerajaan,
umumnya menggunakan kata “Ulu“ (kepala) dan “Cappa“ (Ujung). Penggunaan dua
kata ini bermakna sangat serius atau menegaskan bahwa perjanjian yang dilakukan
bukanlah suatu hal yang main-main, karena itu harus sama – sama ditaati. Orang
atau raja yang melanggar perjanjian biasanya akan diumpat sebagai seseorang
yang tidak punya kepala (Ulu). Biasa kita mendengar ungkapan yang menyatakan, “tau
tena kulle nitanggala ulunna“ atau “tau tena kulle niteteng ulu kananna“,
yang berarti umpatan terhadap seseorang yang tidak bisa dipegang kata –
katanya.
Dalam pemahaman yang lain,
Perjanjian dalam bahasa bugis disebut Ulu Ada’. Penggunaan kata ini saya
berusaha memahaminya bahwa suatu perjanjian bukan hanya sekedar memegang kata –
kata, tetapi juga berarti memegang adat atau ‘pangngaderreng’ karena
adat menganjurkan seseorang itu lempu’ dan getteng (jujur dan
teguh hati). Jadi, seseorang yang melanggar perjanjian dapat diumpat
sebagai seseorang yang juga tidak beradat, dalam pemahaman Bugis. Mungkin ini
pulalah sebabnya kenapa dalam perjanjian persahabatan atau gencatan senjata,
selalu dimasukkan butir atau pasal agar yang berjanji sama – sama memegang
teguh adat masing – masing dan tidak merusak adat negeri lain. Biasa pula
diungkapkan dengan bahasa,“tidak mencampuri urusan dalam negeri masing –
masing“, karena tiap negeri punya adat yang berbeda, termasuk diantaranya tidak
boleh mencampuri pewarisan takhta (ulaweng matasa pattola malampe).
Contoh mengenai hal ini dapat
dilihat pada Perjanjian Tamalate (Bugis : Ulu Adae’ ri Tamalate,
Makassar : Ulu Kanayya ri Tamalate) pada masa pemerintahan Raja Bone VI,
La Uliyo Botee Matinroe ri Itterung (1519 – 1544) dan Raja Gowa IX, Daeng
Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna (1512-1548). Ulu Adae ri Tamalate yang
terjadi pada Tahun 1540 ini merupakan perjanjian persahabatan antara Gowa
dengan Bone. Pasal – pasal dalam Perjanjian ini melukiskan betapa indahnya
persaudaraan antara Bone dengan Gowa, dua kerajaan terkemuka penguasa semenanjung
barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan. Namun masa damai antara keduanya
hanya berlangsung selama 24 Tahun (1538 – 1562), sebelum terjadinya serangan
militer pertama Gowa ke Bone pada tahun 1562 yang didahului dengan peristiwa
sabung ayam ’Manu Bakkana Bone vs Jangang Ejana Gowa’. (lihat catatan : Manu’)
Sebagaimana perangnya yang luar
biasa, masa perang Gowa Vs Bone berlangsung dari tahun 1562 – 1611 sampai tiba
masanya Arung Palakka menggandeng Speelman (Belanda) memerdekakan Bone-Soppeng
dari Penjajahan Gowa, persahabatan yang dilalui Gowa dan Bone juga sangat luar
biasa. Peristiwa pembukaan hubungan diplomatik pertama antara Gowa dan Bone
(1538) bahkan diupacarakan dengan acara memperhadapkan senjata sakti kedua
kerajaan, Lateariduni (kelewang arajang, senjata pusaka) Bone dan
Sudanga (kelewang kalompoang, senjata pusaka) Gowa di Laccokong dimana Raja
Gowa pertama kali menginjak Tana Bone. Kunjungan balasan Raja Bone, La Uliyo
Botee ke Gowa inilah yang kemudian melahirkan “Ulu Adae ri Tamalate“ yang bunyi
perjanjiannya juga sangat luar biasa :
1. Narekko engka perina Bone,
maddaungngi tasie naola Mangkasae, Narekko engka perina Gowa makkumpellei
bulue’ naoia to Bone.
(Kalau Bone terancam bahaya musuh,
maka berdaunlah lautan dilalui orang Makassar, kalau Gowa terancam bahaya musuh
maka ratalah gunung dilalui orang Bone).
2. Tessinawa – nawa majaki,
tessipatingarai kanna Bone Gowa, tessiacinnaiyangngi matasa pattola malampe.
(Tidak akan saling berprasangka
buruk, tidak akan saling menyerang, Bone-Gowa, dan tidak akan mencampuri urusan
dalam negeri).
3. Iyyasi somperengngi Gowa,
iyyasi manai ada torioloe, iyyasi somperengngi Bone, iyyasi manai ada
torioloe’.
(Siapa saja yang melayarkan bahtera
Gowa, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini dan siapa saja yang
melayarkan bahtera Bone, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini).
4. Niginigi temmaringngerang
riada torioloe, mareppai urikkurinna, lowa – lowanna, padai tello
riaddampessangnge ri batue tanana.
(Siapa saja yang tidak mengingat
amanat leluhur ini maka pecahlah periuk belanganya, negeri, seperti telur
dihempaskan ke atas batu).
Perjanjian ini saya anggap suatu
perjanjian yang luar biasa, butir – butir perjanjian ini seandainya
dilaksanakan oleh penerus takhta Gowa dan Bone, sejarah akan bercerita lain.
Namun, kata banyak orang, perjanjian memang dibuat untuk dilanggar. Dan di
banyak catatan lontaraq, akhirnya kitapun mendapati puluhan perjanjian yang
mengiringi Ulu Adae ri Tamalate ini. Ada perjanjian yang disebut Ulu
Kanayya ri Caleppa (Bugis : Ulu Adae ri Caleppa) sebagai buntut serangan
militer keempat Gowa ke Bone (1565) yang berakhir dengan gencatan senjata.
Perang yang dimenangkan oleh Bone tersebut kemudian diperbaharui lagi
perjanjiannya lewat suatu kesepahaman bersama, yang oleh Gowa disebut Kana-kanayya
iwarakanna Bone (Perjanjian di Utara Bone).
Perjanjian – perjanjian lainpun
terus berlanjut. Pihak Bone pun kemudian memprakarsai pembentukan triaple
alliance, “Mattellumpocoe ri Timurung“ (1572), antara Bone, Soppeng
dan Wajo sebagai penyatuan kekuatan bugis mengantisipasi serangan Gowa yang
semakin menggila ingin menjadi penguasa tak tertandingi di semenanjung barat
dan timur Sulawesi Selatan. Berdasarkan pengalaman pahit dari tahun ke tahun
yang harus dilalui Bone akibat serangan militer Gowa dan gangguan militer Luwu,
maka Raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge didampingi oleh penasehat ulung
kerajaan, Kajao Laliddong, berupaya memperkuat benteng pertahanan Bone untuk
menghadapi kemungkinan serangan militer Gowa dan Luwu. Dengan pendekatan
diplomatik La Tenrirawe Bongkangnge berhasil membentuk kekuatan bersama antara
Bone, Soppeng dan Wajo, di Kampung Bunne Timurung, Bone Utara pada tahun 1572.
Upacara pembentukan triple
alliance tersebut dihadiri oleh delegasi dari masing – masing kerajaan dari
Bone, Soppeng dan Wajo : Kerajaan Bone, diwakili langsung oleh rajanya La
Tenrirawe Bongkangnge, pensehat kerajaan Kajaolaliddong dan pembesar – pembesar
Kerajaan Bone lainnya, Kerajaan Wajo, dipimpin langsung oleh La Mungkace
Touddamang Arung Matowa, Pillae, Cakkuridie, Pattolae, dan pembesar – pembesar
Kerajaan Wajo lainnya, dan Kerajaan Soppeng, diwakili oleh La Mappaleppe Pong
Lipue, Datu Soppeng Arung Bila, Arung Pangepae, dan Arung Paddanrenge”.
Tellumpoccoe ri Timurung menetapkan prinsip – prinsip
kesepakatan sebagai berikut :
1. Malilu sipakainge, rebba
sipatokkong, siappidapireng riperi nyameng ;
(Memperingati bagi mereka yang tidak
mentaati kesepakatan, saling menegakkan jika ada yang tersungkur dan saling
membantu dalam suka duka).
2. Tessibaiccukang,
tessiacinnaiyang ulaweng matasa, pattola malampe, waramparang maega pada
mallebang risaliweng temmallebbang ri laleng.
(Tidak akan saling mengecilkan
peran, tidak akan saling menginginkan perebutan takhta dan penggantian putera
mahkota dan tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing – masing).
3. Teppettu – pettu siranreng
sama – samapi mappettu, tennawawa tomate jancitta, tennalirang anging ri
saliweng bitara, natajeng tencajie. Iya teya ripakainge iya riduai, mau
maruttung langie, mawoto paratiwie, temmalukka akkulu adangetta, natettongi
Dewata Seuwae .
(Tidak akan putus satu – satu
melainkan semua harus putus, perjanjian ini tidak batal karena kita mati dan
tidak akan lenyap karena dihanyutkan angin keluar langit, mustahil terjadi.
Siapa yang tidak mau diperingati, dialah yang harus diserang kita berdua.
Walaupun langit runtuh dan bumi terbang, perjanjian ini tidak akan batal dan
disaksikan oleh Dewata SeuwaE).
4. Sirekkokeng tedong mawatang,
sirettong panni, sipolowang poppa, silasekeng tedong siteppekeng tanru tedong.
(Saling menundukkan kerbau yang
kuat, saling mematahkan paha, saling mengebirikan kerbau. Artinya mereka akan
saling memberikan bantuan militer untuk menundukkan musuh yang kuat).
5. Tessiottong waramparang,
tessipalattu ana parakeana.
(Tidak akan saling berebutan harta
benda dan berlaku bagi generasi penerus).
Substansi kesepakatan perjanjian
diatas menunjukkan bahwa ketiga kerajaan, Bone, Soppeng dan Wajo secara sadar
membentuk pakta pertahanan militer untuk menghadapi musuh bersama mereka.
Dengan demikian Tellumpoccoe ri Timurung merupakan kekuatan ketiga di
kawasan Sulawesi Selatan disamping Gowa dan Luwu pada masa itu.
Perjanjian “Mattelempoccoe ri
Timurung“ pun mengalami pasang surut kesepahaman diantara ketiga kerajaan
tersebut hingga melahirkan lagi perjanjian – perjanjian kecil seiring
perkembangan kekuasaan di semenanjung timur serta ekspansi yang luar biasa dari
Kerajaan Gowa. Di belakang hari, Wajo memisahkan diri dan mengakui Karaeng Gowa
sebagai penguasa atasannya. Arung Palakka sendiri sebelum melarikan diri ke
Buton masih sempat mengadakan perjanjian di Atappang yang disebut “Pincara
Lopie’ ri Atappang“ (1660) sebagai upaya mempersatukan kembali Bone dan
Soppeng dalam melawan Gowa.
Raja Gowa Sultan Alauddin (Daeng
Manrabia Tumenanga ri Gaukanna) sendiri memakai Ulu Ada’ (Perjanjian)
masa lalu, antara kerajaan Makassar dengan Kerajaan-kerajaan Bugis di
semenanjung timur yang menyebutkan bahwa “Siapa saja kelak yang mendapatkan
petunjuk dan jalan hidup yang lebih baik, maka yang satu harus memberitahukan
yang lain“. Atas dasar Ulu Ada’ inilah yang dipakai sebagai alasan perang
pengislaman yang dalam sejarah disebut “Bundu Kasallangan“ (Bugis : Musu
Sellenge’) untuk mengislamkan kerajaan – kerajaan lain yang belum memeluk
Islam.
Raja Gowa (Karaeng Gowa)
menganggap bahwa Ulu Ade’ itu harus diberlakukan dan ditaati, dan jalan hidup
yang lebih baik itu adalah Islam. Meskipun Raja Bone La Tenrirua memahami dan
menyetujui maksud pengislaman tersebut namun rakyat dan Dewan Hadat Bone tidak
menaatinya. Bagi rakyat Bone, dengan serangan militernya bertahun – tahun
sampai kemudian ditaklukkan Bone oleh Gowa (1611) menganggap bahwa apa yang
dilakukan Karaeng Gowa tak lebih dari sebuah bentuk penjajahan suatu negara
terhadap negara yang berdaulat. Belum lagi pengerahan tenaga kerja paksa
sebanyak 40.000 rakyat Bone – Soppeng ke Gowa dalam membangun Benteng – benteng
Makassar adalah fakta lain yang sangat menyakitkan Bone – Soppeng.
Penindasan dan kerja paksa ribuan
rakyat Bone – Soppeng inilah yang kemudian membangkitkan semangat perlawanan
Arung Palakka dalam membebaskan negerinya dari penjajahan Gowa. Dalam Sejarah
perlawanan dan pelarian Arung Palakka baik di negeri sendiri, di Buton maupun
saat berada di Batavia, ada begitu banyak perjanjian / ikrar dan sumpah yang
tercipta, sebagai bentuk penegasan rakyat dan kesetiaannya atas tekad dan
semangat Petta Malampeq Gemmekna ini. Keberhasilan Arung Palakka
menggandeng Speelman (Belanda) yang kemudian cerita sejarah ini berakhir pada
“Cappaya ri Bungaya“ (Perjanjian Bungaya), tahun 1660. Pada saat itu,
imperium besar, kerajaan terbesar di Indonesia Timur, Kerajaan Gowa perlahan –
lahan menuju titik kehancuran. (*)
0 komentar: