SEJARAH SINGKAT KERAJAAN BONE
Kerajaan
Bone terbentuk pada awal abad ke XIV atau pada tahun 1330, namun sebelum
Kerajaan Bone terbentuk, sudah ada kelompok-kelompok dan pemimpinnya digelar
Matoa.
Dengan
datangnya TO MANURUNG Mata Silompo’E, maka terjadilah penggabungan
kelompok-kelompok tersebut, termasuk Cina, Barebbo, Awangpone dan Palakka. Pada
saat pengangkatan TO MANURUNG Mata Silompo’E, menjadi Raja Bone, Rakyat Bone
bersumpah sebagai pertanda kesetiaan Rakyat kepada Raja, sekaligus sebagai
pencerminan sifat Pemerintahan Kerajaan diawal berdirinya.
Sumpah yang diucapkan Oleh
Penguasa Cina mewakili rakyat berbunyi :
“ANGIKKO
KIRAUKKAJU, RIYAKOMMIRI, RIAKKENG MUTAPPALIRENG, ELO’MU ELO
RIKKENG ADAMMUKUA,
MATTAMPAKO KILAO, MMOLLIKO
KISAWE, MELLAUKO KIABBERE, MAUNI
ANAMMENG NAPATTAROMMENG REKKUA MUTEYAIWI
KITEYATOI, NAEKIYA DONGIRIKKENG
TEMMATIPPANG, AMPIRIKKENG TEMMAKARE MUSALIPURIKKENG TEMMADINGING”
Terjemahan bebas :
“ENGKAU ANGIN DAN KAMI DEDAUNAN, KEMANA BERHEMBUS KESITU
KAMI MENURUT, KEMAUAN DAN KATA-KATAMULAH YANG JADI DAN BERLAKU ATAS KAMI.
APABILA ENGKAU MENGUNDANG, KAMI DATANG, APABILA ENGKAU MEMANGGIL, KAMI
MENYAMBUT, DAN APABILA ENGKAU MEMINTA KAMI MEMBERI WALAUPUN ANAK ISTERI KAMI JIKA TUANKU TIDAK SENANGI, KAMI PUN TIDAK
MENYENANGINYA. TETAPI ENGKAU MENJAGA KAMI AGAR AMAN TENTRAM, ENGKAU MELINDUNGI
KAMI AGAR MAKMUR SEJAHTERA, ENGKAU SELIMUTI KAMI AGAR TIDAK KEDINGINAN.
Demikianlah
perjanjian penyerahan kekuasaan dan kepercayaan rakyat dengan suka rela kepada
Rajanya. Disamping menyerahkan diri kepada Raja, juga terpatri pengharapan yang
menjadi kewajiban Raja melaksanakan, yakni kewajiban mendatangkan keamanan dan
terjaminnya keadilan serta kesejahteraan rakyat.
Sistem
Pemerintahan Kerajaan Bone, senantiasa berdasarkan musyawarah mufakat. Hal ini
dibuktikan dengan jelas kedudukan ketujuh Ketua Kaum (Matoa Anang) dalam satu
majelis, dimana TO MANURUNG sebagai ketuanya, dan ketujuh Kaum itu diikat oleh
suatu ikatan yang disebut Kawerang (Ikatan Persekutuan Tanah Bone) serta hal
yang mengatur sistem Pemerintahan Kerajaan.
Sistem
Kawerang ini berlangsung dari Raja Bone ke-I hingga Raja Bone ke IX Lapattawe
Matinro’E Ri Bettung pada akhir abad ke-XVI.
Tahun
1605 dimasa Pemerintahan Raja Bone keX we Tenritappu Matinro’E Ri Sidenreng,
Agama Islam mulai masuk di Kerajaan Bone, dan masa itu pulalah sebutan Matowa
Pitu dirubah menjadi Hadat Tujuh (Ade Pitu) masing-masing; Tibojong, Ta, Tanete
Riattang, Tanete Riawang Macege, Ponceng dan Ujung.
Latenri
Ruwa Raja Bone ke- XI secara resmi menerima Agama Islam masuk di Kerajaan Bone,
dan sejak itulah Agama Islam berkembang dengan pesat dan terkenal bahwa rakyat
Bone penganut Agama Islam yang fanatik.
Demikian
pula terhadap Raja Bone ke- XII, dan sejak itulah La Tenripale Matinro’E di
Tallo dan Raja Bone ke-XIII La Maddaremmeng Matinro’E Ri Bukaka merupakan sosok
Raja yang terkenal fanatik dalam ajaran Agama Islam.
Raja
Bone ke-XV La Tenritatta Daeng Serang Malampe’E Gemmenna Arung Palakka dikenal
sebagai Raja yang berprikemanusiaan. Berusaha meningkatkan harkat dan martabat
Kerajaan Bone, bebas dari tekanan dan penindasan dari kerajaan-kerajaan
lainnya, mampu mengadakan pendekatan dan komunikasi timbal balik dengan
kerajaan lain sehingga terkenal dengan sebutan Raja Bugis ( de Koning Der Bugis
).
Raja
Bone Ke – XVI La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng dikenal sebagai
sosok penyiar dan pengembang Syiar Islam. Di giatkan pula penulisan Kitab
pelajaran Agama Islam. Di masa Pemerintahan beliau, pengaruhnya sangat besar, tidak
hanya terhadap Raja – raja bawahannya, tetapi juga Raja – raja di tanah Bugis
seperti Soppeng, Sidenreng, Luwu dan lain-lain.
Raja
Bone Ke – XXIII La Tenri Tappu adalah sosok Raja yang gemar akan kesenian dan
taat melaksanakan Syariat Islam. Baginda berhasil menyusun sebuah buku
pelajaran Tasawuf, yang oleh baginda diberi judul ” NURUL HADI “ merupakan
Tasawuf yang mengupas soal kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan mendapat
pengakuan dari ahli tasawuf dari Mekkah pada masanya.
Raja
Bone Ke – XXX Fatimah Banri merupakan pencetus ide, yakni merubah model Baju ponco ( Baju Wanita ) yang
berukuran sampai diatas lutut menjadi berukuran lebih menurun kebawah lutut
sebagaimana yang dipergunakan sekarang, serta diusahakan pembinaan kesenian
daerah seperti seni tari dan sebagainya.
Demikian
pula pada masa pemerintahan Raja Bone Ke XXX tersebut dikenal cukup berhasil
keadaan negeri aman tentram perekonomian maju dan lancar.
Raja
Bone Ke – XXXI Lapawawoi Karaeng Sigeri adalah seorang Raja yang anti terhadap
Belanda yang ingin menguasai sumber
ekonomi rakyat, yang menjadi sumber penghasilan Kerajaan Bone.
Beberapa
kali utusan Belanda menemui Raja, akan tetapi selalu ditolak, sebab Baginda
sudah mengetahui taktik licik Belanda, ingin menguasai sumber ekonomi rakyat,
lalu lintas perdagangan di Pelabuhan Bajoe dan Palime, untuk memungut bea cukai
dengan alas an akan membantu mengurusi dan mengaturnya secara seksama.
Maksud
Belanda tidak berhasil, maka pecahlah perang yang dahsyat. Belanda dengan tiga
battalion tentara pilihan dengan persenjataan lengkap termasuk meriam,
melancarkan serangan di Pantai Bajoe, namun Laskar Bone dengan gagah perkasa
melakukan perlawanan sekalipun dengan persenjataan yang tidak seimbang.
Di
dalam pertemupuran beberapa hari lamanya itu, ribuan Laskar Bone dan pihak
belanda jatuh korban, termasuk Panglima Perang ( Dulung ) Ajangale dan beberapa
perwira tinggi lainnya.
Raja
Bone bersama Panglima tertinggi angkatan perangnya Andi Abdul Hamid alias Baso
Pagilingi Petta PongawaE mundur kepegunungan hingga di Bulu Awo bilangan
Pitumpanua Wajo.
Pasukan
Belanda dalam pengejaran hingga ditempat tersebut, terjadilah pertempuran yang
maha dahsyat, yang mengakibatkan gugurnya Petta pongawaE bersama pasukannya dan
di Makamkan kembali di Desa Matuju Kecamatan Awangpone.
Sedang
Raja Bone Ke – XXXI Lapawawoi Karaeng Sigeri ditangkap dan dibawa ke Pare –
Pare selanjutnya diasingkan Bandung dan Baginda mangkat di Bandung. Kemudian
pada tahun 1974 kerangka jenasahnya dipindahkan dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata Jakarta dalam suatu upacara meliter dan upacara kebesaran
adat.
Dengan
jatuhnya Kerajaan Bone ketangan Belanda maka dikenal dalam sejarah RUMPA’NA
BONE tahun 1905.
Setelah
26 tahun kemudian atau tahun 1931 dinobatkanlah Andi Mappanyukki sebagai Raja
Bone Ke- XXXII dengan gelar Sultan Ibrahim.
Baginda
cukup berwibawa dan mempunyai harga diri. Baginda tidak mau begitu saja didikte
oleh Belanda, tidak segan- segan membela kepentingan rakyat walauoun harus
berhadapan dengan Belanda. Belanda sangat berhati-hati Baginda, namun
menghormati sikap dan pendirian Raja.
Tahun
1944 ketika tentara Jepang semakin terdesak oleh sekutu, Jepang berusaha
mengajak rakyat untuk membela tanah airnya. Jika di Pulau Jawa dan daerah
lainnya terbentuk suatu wadah yang menghimpun rakyat untuk mencapai
kemerdekaan, maka di Tanah Bone pun dibentuk suatu organisasi yang dikenal
dengan SUDARA singkatan dari SUMBER DARAH RAKYAT.
SUMBER
DARAH RAKYAT ini dibentuk, adalah merupakan persiapan badan perjuangan yang
sesunggunhya bertujuan mencegah kembali penjajahan Belanda di Indonesia.
Perjuangan
Andi Mappanyukki dalam menentang penjajah tidak diragukan lagi, demikian pula
gigihnya mempertahankan kemerdekaan yang ditandai dengan pernyataan sikap dan
pendirian Raja serta Rakyat Bone tetap berdiri dibelakang Pemerintah RI yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Atas
penarikan diri Raja Bone XXXII Andi Mappanyukki dari tahta kerajaan, akhirnya
atas permufakatan Anggota Hadat Tujuh, memilih Andi Pabbenteng Petta Lawa
menjadi Raja Bone Ke-XXXIII, yang merupakan Putra dari Panglima Tertinggi
Kerajaan Bone Petta PongawaE.
Dua
tahun kemudian yakni pada tanggal 1 November 1948 atas kesepakatan Raja-raja di
Sulawesi selatan, mengangkat Andi Pabbenteng Petta Lawa menjadi Ketua Dewan Adat Tinggi Sulawesi selatan, dan wakilnya di
tunjuk Raja Gowa Andi Ijo Karaeng Lalolang.
Pada
bulan Mei 1950, untuk pertama kalinya selama Kerajaan Bone terbentuk, dan
berdiri diawal abad ke – XIV tahun 1330 terjadi suatu demonstrasi rakyat di
Kota Watampone yang menuntut dibubarkannya Negara Indonesia Timur,
dihapuskannya Pemerintah Kerajaan dan menyatakan berdiri dibelakang Pemerintah
RI.
Tanggal
21 Mei 1950 terbentuklah Komite Nasioanal Indoneisa ( KNI ) Daerah Bone .
Setelah Pelantikan KNI maka terjadilah peristiwa penyerahan kekuasaan
Legislatif dari Pemerintahan Kerajaan kepada KNI, dan beberapa hari kemudian
para anggota Hadat Tujuh mengajukan permohonan berhenti.
Demikianlah
perjalanan panjang Kerajaan Bone hingga memasuki masa kemerdekaan. Hingga saat
ini senantiasa memperlihatkan kemajuan yang menggembirakan.
Sampai
saat ini tercatat sejumlah 14 Kepala Daerah yang diberi kepercayaan untuk
mengembang amanah Pemerintah di Tanah Bone masing- masing Andi Pangeran Petta Rani, Ma’mun Daeng Mattoro, Andi Mappanyukki, Andi
Suradi, Andi Jamuddin, Andi Tjatjo, Andi Baso Amir, Haji Suaib, Haji P.B
Harahap, Haji Andi Madeali, H. Andi Sjamsu Alam, H. Andi Syamsoel Alam, H. Andi
Muhammad Amir dan Haji Andi Muhammad Idris Galigo,SH.
Demikianlah
sejarah singkat Tanah Bone
0 komentar: