TERBENTUKNYA KECAMATAN MALLUSETASI
TERBENTUKNYA KECAMATAN MALLUSETASI
1. MASA KERAJAAN
1.1 Lili Passiajing
Jauh
sebelum datangnya pemerintah Hindia Belanda, di daerah Mallusetasi
terdapat empat kerjaan kecil yang berkuasa yaitu Nepo, Bojo, Bacukiki
dan Soreang. Mallusetasi diartikan Nakkangului anrena, nalusei
(nalusereng) tasi'na (ikan). Ini diartikkan sebagai daerah yang
berkecukupan dalam hal makanan.
Dijelaskan diatas bahwa terdapat beberapa kerajaan kecil yang berkuasa dan berdiri sendiri :
a. Kerajaan Nepo, yang membawahi lagi kerajaan/akkarungeng yang lebih kecil seperti Manuba (onyi), Mareppang dan Palanro
b. Kerajaan Soreang yang daerahnya meliputi sebahagian Kota Parepare sekarang.
c. Kerajaan Bacukiki dan kerajaan Bojo yang diberi kelebihan yaitu : Napoade Ade’na, Napo bicara Bicaranna artinya dapat mengatur dirinya sendiri.
Empat kerajaan ini tergabung dalam satu ikatan yang disebut “LILI PASSIAJING” yang dikoordinir oleh Addatuang Sidenreng.
LILI PASSIAJING ; Lili artinya kelompok, Passiajing artinya hubungan darah (turunan).
Lili
Passiajing adalah suatu ikatan kesatuan berdasarkan hubungan darah atau
turunan. Hal ini dapat dilihat bahwa raja yang berkuasa di empat
kerajaan tersebut mempunyai garis turunan yang berasal dari Addatuang
Sidenreng, Addatuang artinya Perlindungan.
1.2 Perang antara Nepo dan Suppa
Pada
akhir abad XVIII hingga awal abad XIX kerajaan Nepo diperintah olah
seorang raja, disamping raja ini terdapat 40 orang putranya yang
mempunyai hak yang sama atas tata kerajaan Nepo, 40 orang putra raja ini
disebut juga Arung Patappuloe
Arung adalah perpaduan antara “ A “ dan “ RU ”. A
diartikan Ambo’na, sedang RU diartikan dengan Rupa-rupae. Jadi Arung
adalah Ambo’na Rupa-rupae yang pengertiannya adalah orang yang memiliki
sifat-sifat yang patut dicontoh orang karena memiliki sifat-sifat jujur,
berani dan tetap pada dalam pendirian pada semua golongan.
Setelah
ayah Arung Patappuloe meninggal dunia, terjadilah pertentangan diantara
mereka, gerangan siapa yang harus menjadi raja. Tetapi berkat bimbingan
Buto (anre guru/penasehat) mereka sepakat mengangkat “LABONGO” salah
seorang putra raja Suppa “Lakuneng”. Raja tersebut Bongo (bodoh), pemalu
dan masih bujangan. Pengangkatan Labongo menjadi raja Nepo mempunyai
pertimbangan politis sebagai berikut :
- Dengan
pengangkatan Labongo sebagai Raja Nepo berarti perang saudara Arung
Patappuloe dapat dihindari, karena masing-masing ingin berkuasa.
- Mencegah serangan dari raja-raja tetangga yang pada saat itu harus perang kedudukan dan kehormatan.
Pengangkatan
Raja Labongo dianggap masyarakat sangat memalukan, atas dasar itu untuk
mengatasi hal ini maka Labongo sebagai raja Nepo kemudian dinikahkan
dengan putri Arung Mareppang. Labongo menjalankan pemerintahan
didampingi Arung Patappuloe sekaligus menjadi pengawal yang gagah lagi
berani.
Pada
suatu saat Datu Suppa (Lakuneng), ayah Labongo minta bantuan pada
rakyat Nepo untuk menebang kayu pembuatan Istana Datu Suppa. Labongo
mengirim tenaga ± 1000 orang. Sebelum berangkat, mereka diberi amanat
bahwa setelah pohon itu ditebang, diikat dan ditarik ke tempat raja.
Oleh masyarakat perintah ini betul-betul dilakukan, yaitu menebang dan
mengikat selanjutnya menarik kayu-kayu tadi ke tempat raja. Hal ini
menyebabkan kerusakan pada rumah penduduk. Raja murka dan utusan segera
disuruh pulang.
Kedua
kalinya Datu Suppa kembali minta tenaga untuk menanam padi, sebelum
berangkat Labongo kembali memberi amanat : “Apabila sampai tengah hari
belum juga diberi makan maka cara tanam harus dirubah yaitu dengan
menanam ujungnya. “ Sampai pada saat menanam tiba, apa yang
dikhawatirkan Labongo betul terjadi. Tengah hari mereka belum diberi
makan. Maka Tita sang raja pun dilakukan. Raja Suppa kembali murka dan
menyuruhnya pulang.
Beberapa tahun berselang terjadi musim kemarau panjang yang menimbulkan bahaya kelaparan, maka Datu Suppa mengirim seorang Suro ataupun utusan untuk meninjau keadaan penduduk Nepo.
Pada
saat suro tiba, dari jauh telah nampak kesibukan orang mencincang
batang (lisu) pisang dan buah “Sala-sala”. Karena bentuk buah sala-sala
menyerupai anak panah, maka suro tadi beranggapan bahwa masyarakat Nepo
giat membuat persiapan perang untuk melawan Suppa karena dikaitkan
dengan peristiwa beberapa tahun lalu itu.
Suro
tidak menunaikan tugasnya secara sempurna. Karena kesalahan penafsiran
dan segera kembali melapor pada raja Suppa (Lakuneng). Selanjutnya raja
murka dan mengirim surat kepada raja Nepo dengan artian bebas sebagai
berikut :
“Supaya Nepo membuat benteng setinggi bubungan untuk melawan Suppa”
Setelah
dipertimbangkan dengan Arung Patappuloe dengan Puang Ripakka (seorang
pemberani), maka surat Datu Suppa segera dibalas dengan artian bebas
sebagai berikut “
“Menerima baik maksud Datu Suppa dengan kata lain Siap melawan”.
Akhirnya terjadi pertempuran dimana kedua belah pihak menelan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya.
Dengan
melihat korban yang begitu banyak maka dilakukan gencatan senjata
dimana kedua belah pihak mengangkat sumpah (Siattanroang). Dengan dasar
itu tempat mengangkat sumpah tadi disebut Attanroangnge atau Pattanrongnge sekarang. Adapun isi sumpahnya dengan artian bebas adalah :
“Kalau
Suppa yang menghendaki agar Nepo rusak binasa, maka Suppa binasa dan
hancur lebur seperti hancurnya cangkir yang dijatuhkan dan sebaliknya.”
Dengan
demikian berakhirlah perang antara Ayah dan anak yang disebabkan oleh
kesalah pahaman. Sejak itu kerajaan Nepo menjadi besar dan kuat yang
daerahnya sebagian besar daerah Mallusetasi sekarang. Sebagai pengganti
Labongo setelah meninggal dunia ia diganti oleh salah seorang dari Arung
Patappuloe yang mempunyai hubungan darah dengan Addatuang Sidenreng dan
dari raja ini lahirlah IMESSANG ibu dari ANDI SIMA’ TANA (Petta Tellu
Latte’E) raja pertama di kerajaan Mallusetasi.
1.3 Syarat Kepemimpinan dan Peradilan Masa Kerajaan
Syarat kepemimpinan pada masa ini menurut Lontara Latoa antara lain seorang tidak dapat diangkat pemimpin :
a. Tau lesang akkalenna : Orang yang kehilangan akal (gila)
b. Tau salang-salang : Orang cacat
c. Tau de’ Nakkewija : Orang yang tidak mempunyai keturunan
d. Tau de’ Abbatirenna : Orang yang bukan turunan raja
Selanjutnya
dalam hal menegakkan keadilan dikerajaan Mallusetasi dahulu dikenal
dengan suatu istilah “ TAROADE”. Yaitu keputusan adat. Hal ini
menunjukkan bahwa cara menyelesaikan masalah-masalah di dalam menegakkan
keadilan didasarkan pada keputusan adat yang mempunyai tingkatan
sebagai berikut :
a. Taro Ade Yaitu Keputusan yang berdasarkan adat
b. Taro Anang Yaitu keputusan sekelompok orang yang mempunyai sangkut paut dengan itu.
c. Taro Maranang Yaitu Keputusan dalam lingkungan keluarga sendiri.
Sampai dimana kekuatan hukum dari ketiga keputusan ini, dapat dilihat dari ucapan berikut ini :
“ Rilukka Taro Ade, Tenri lukka Taro maranang, Rilukka Taro Anang, Tenri lukka Taro Maranang.”
Yang artian bebasnya :
“ Keputusan adat dapat dibatalkan oleh keputusan kelompok, dan keputusan kelompok batal atas keputusan keluarga (taro maranang).
Jadi Taro maranang yang paling kuat dan mendasar.
2. MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA
2.1 Terbentuknya Kerajaan Mallusetasi
Sekitar
tahun 1900 Belanda berhasil menduduki Bone, tahun 1905 menggempur
Soppeng dan berhasil menduduki kerajaan itu namun menerima perlawanan
sengit. Kemudian sampai ke daerah Mallusetasi.
Pada
tahun 1906 terbentuklah Kerajaan Mallusetasi yang merupakan himpunan
dari kerajaan Soreang, Bacukiki, Bojo dan Nepo dengan raja pertama yaitu
Arung Nepo ANDI SIMA’ TANA.
Kerajaan Mallusetasi oleh Pemerintah Hindia Belanda dijadikan Zelf Bestuur Mallusetasi yang terbagi dalam tiga distrik;
- Distrik Soreang
- Distrik Bacukiki (Bacukiki-Bojo)
- Distrik N e p o
Akhirnya
Bojo juga menjadi satu distrik. Untuk distrik Nepo karena Arung Nepo
(ANDI SIMA’ TANA) tadi diangkat menjadi Arung Mallusetasi hingga
penggantinya diambil orang yang dianggap cakap, mempunyai turunan
bangsawan dan diberi gelar Matoa Nepo yaitu Muhammad Yusuf (Matoa Yusuf).
2.2 Struktur Pemerintahan Mallusetasi
Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh :
- Sulewatang : Passele ale, yaitu orang yang diberikan tugas menjalankan pemerintahan sehari-hari.
- Pabbicara
: Sesuai namanya, Pabbicara diangkat dari orang
yang pandai bicara. Tugasnya menyelesaikan perkara berdasarkan adat dan
agama.
Keduanya
adalah pembantu utama raja dalam melaksanakan pemerintahan. Pada tahun
1917 Andi Sima’ Tana diganti oleh kamanakannya yaitu Andi Makung hingga
tahun 1934.
3. Masa Pendudukan Jepang dan Proklamasi hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Pada
tahun 1942 Jepang menduduki seluruh daerah Mallusetasi. Oleh Jepang,
Struktur Pemerintahan Zelf Bestuur Mallusetasi diganti menjadi “Suco Mallusetasi” dan tiap distrik menjadi “Gunco” sedang Ibu kota Mallusetasi dipindahkan dari Palanro Ke Parepare.
Setelah
Jepang menyerah tahun 1945, kembali Pemerintahan Hindia Belanda
mengembalikan dari Suco Mallusetasi menjadi Zelf Bestuur Mallusetasi.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesi 17 Agustus
1945, untuk sementara Pemerintahan Mallusetasi belum berubah hingga
terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT) yang dicetuskan pada
Konferensi Malino 23 Desember 1946.
Tetapi
setelah NIT bubar menjadi negara kesatuan Republik Indonesia tepat pada
tanggal 27 Desember 1949 maka Zelf Bestuur tadi berubah menjadi
Swapraja Mallusetasi yang terdiri dari Distrik Soreang, Bacukiki, Bojo
dan Nepo.
4. Terbentuknya Kecamatan Mallusetasi
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka berlaku peraturan/Undang-undang sebagai berikut :
1. Undang-undang
No. 29 tahun 1959 tentang Pembentukan Dati II Sulawesi
Selatan/Tenggara, sejak itu dipisahkan menjadi Kotapraja Parepare
meliputi Soreang dan Bacukiki, sementara Kecamatan Nepo dan Bojo menjadi
satu dan masuk Daerah Tingkat II Barru.
2. SK
Gubernur Kepala Daerah Tk. I Sulawesi Selatan Tenggara No. 110/1961
tentang Pengukuhan Wilayah Kecamatan, maka terbentuklah Kecamatan Nepo
Bojo menjadi Kecamatan Mallustasi yang terdiri dari 4 (empat) Desa yaitu
:
a. Desa Bojo
b. Desa Mallawa (Kelurahan Mallawa sekarang)
c. Desa Nepo dan
d. Desa Cilellang
Note : Pada Hari Selasa, bulan Februari tahun 1946 terjadi pembunuhan di Salassae (Saoraja) Palanro.
0 komentar: