SEJARAH SINGKAT TERBENTUKNYA KERAJAAN WAJO

Ada dua tradisi sejarah terbentuknya kerajaan Wajo. Pertama versi tutur,yang disebut sebagai Pau-Pau ri Kadong. Dan versi kedua yaitu versi tulis. Yaitu versi lontara antara lain, Lontara Sukkuna Wajo, Lontara Attoriolong ri Wajo, Lontara Akkarungeng ri Wajo dan Kroniek Van Wadjo,yang merupakan hasil transkripsi J. Noorduyn pada salah satu naskah kronik Wajo lainnya.

Pau-Pau ri Kadong secara singkat bercerita tentang seorang putri Luwu yang sakit kulit, yakni We Tadampali. Atas masukan dari Hadat Luwu dan kebaikan rakyat Luwu, beliau dihanyutkan bersama pengikutnya agar tidak menjangkiti orang Luwu.

Ketika terdampar, beliau membuat pemukiman. Hingga suatu saat, beliau dijilat oleh kerbau belang hingga sembuh. Di saat bersamaan, seorang pangeran dari Bone beserta rombongannya yang sedang berburu, singgah beristirahat. Kebetulan, sang pangeran beserta rombongannya. Sang pangeran kaget melihat ada perkampungan kecil ditempat tersebut.Ketika mendatangi rumah besar (rumah We Tadampali) sang pangeran pun kaget hingga pingsan melihat kecantikan We Tadampali.

Pulang ke Bone, sang Pangeran meminta pada ayahandanya sang Raja agar segera dinikahkan. Singkat kata, lamaran pun diajukan ke Luwu dan diterima. Sang Pangeran Bone beserta We Tadampali hidup bahagia dan melahirkan putra-putra yang kelak menjadi paddanreng yang mendirikan Wajo.

Sedang versi kronik secara umum menggambarkan sebagai berikut. Berbeda dengan kerajaan-kerajaan lainnya di jazirah selatan Sulawesi, Wajo tidak memulai dengan kondisi chaos. Namun kondisi damai, dimana para migran dari berbagai arah datang berkumpul disebuah pesisir danau yang kelak disebut Lampulung. Disebut Lampulung sebab berasal dari bahasa Bugis Sipulung yang berarti berkumpul. Ditempat itu ada seorang tua yang tidak diketahui nama aslinya yang digelari Puang ri Lampulung. Komunitas Lampulung ini membentuk beberapa perkampungan seperti Saebawi.

Sepeninggal Puang ri Lampulung, masyarakat Lampulung bubar. Hingga menemukan seorang tokoh yang sama seperti Puang ri Lampulung seperti kemampuan meramal dan teknik pengelolaan pertanian yang digelari Puang ri Timpengeng. Akhirnya terbentuk komunitas baru di Boli.

Masyarakat Boli sebagaimana masyarakat Lampulung hidup aman, tertib dan sejahtera hingga Puang ri Timpengeng wafat. Masyarakat Boli pun kehilangan pegangan. Kehidupan bermasyarakat mulai tidak tertib, berlaku hukum rimba. Hingga akhirnya, datanglah La Paukke, seorang pangeran kedatuan Cina/Mampu. La Paukke mendirikan kerajaan yang disebut Cinnotabi.

Pelan tapi pasti, kerajaan Cinnotabi mulai berkembang. La Paukke Arung Cinnotabi I digantikan oleh putrinya, We Panangngareng sebagai Arung Cinnotabi II. Kejayaan Cinnotabi di era Arung Cinnotabi III, We Tenrisui putri We Panangngareng. Beliau digantikan putranya, La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV.

Setelah La Patiroi wafat, adat Cinnotabi mengangkat kedua putranya yaitu La Tenribali dan La Tenritippe sebagai Arung Cinnotabi V. Namun, dua pemimpin akan menyebabkan ketidakstabilan dalam pemerintahan. Disebutkan bahwa, La Tenritippe kurang adil dalam memutus perkara. Sehingga pejabat adat Cinnotabi beserta rakyatnya meninggalkan Cinnotabi dan berkampung di Boli.

Ketiga bersepupu, La Tenritau menyebut daerahnya Majauleng. La Tenripekka menyebut daerahnya Sabbamparu. Sedang La Matareng menyebut daerahnya Takkalalla. Ketiga daerah ini menyebut dirinya TelluE Turungeng Lakka. Kemudian berubah menjadi Lipu Tellu KajuruE. Lipu Tellu KajuruE kemudian melamar La Tenribali yang sebelumnya mendirikan kerajaan Penrang untuk menjadi raja Wajo.

Melalui sebuah perjanjian, Assijancingengnge ri Majauleng, maka didirikanlah kerajaan Wajo. Disebut Wajo sebab perjanjian tersebut diadakan dibawah bayang-bayang=wajo-wajo pohon Bajo. La Tenribali digelari Batara Wajo.

Sepeninggal La Tenribali, maka putranya yaitu La Mataesso diangkat menjadi Batara Wajo II. Kemudian La Pateddungi to Samallangi diangkat menjadi Batara Wajo III. Di zaman Batara Wajo III, sang Raja melakukan banyak kesewenang-wenangan. Hingga setelah berbagai masukan dari rakyat Wajo, I La Tiringeng to Taba memperingati Batara Wajo III. Namun sampai berkali-kali diperingati, La Pateddungi selalu mengulang kesalahannya. Akhirnya, ia diturunkan dari takhtanya dan dibunuh di sebuah tempat luar Wajo saat itu yang disebut sebagai La Marakko.

(Reruntuhan pohon Asam Lapaddeppa.Dibawah pohon inilah dahulu diadakan perjanjian Allamumpatue ri Lapaddeppa)


Kekosongan pemerintahan pasca kematian La Pateddungi membuat rakyat dan adat Wajo melakukan perubahan pada sistem pemerintahannya. Akhirnya diadakan perjanjian (allamumpatuE ri Lapaddeppa) yang berisi hak-hak konstitusional kemerdekaan orang Wajo. Selanjutnya, La Palewo to Palippu terpilih menjadi Arung Matowa. Adapun gelar Batara Wajo tidak digunakan lagi.(arm)

About the author

Admin
Donec non enim in turpis pulvinar facilisis. Ut felis. Praesent dapibus, neque id cursus faucibus. Aenean fermentum, eget tincidunt.

1 komentar:

Template by Clairvo Yance
Copyright © 2013 sang sejarawan and Blogger Themes.