ADAT DAN KEBUDAYAAN SUKU BUGIS


29 May
Adat dan Kebudayaan Suku Bugis Di Sulawesi Selatan
Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.
Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton (Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).
Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘. Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan We‘ Cudai).
Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure‘ Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara‘ itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang.




Konsep Ade‘ (Adat) dan Spiritualitas (Agama)
Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain.
Selain konsep ade‘ secara umum yang terdapat di dalam konsep pang‘ade‘reng, terdapat pula bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari‘ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara‘ (syariat Islam) (Mattulada, Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We‘ Cudai, La Galigo, We‘ Tenriabeng, We‘ Opu Sengngeng, dan lain-lain merupakan tokoh–tokoh yang hidup di zaman pra-Islam.
Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewa–dewa di kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.




Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahan–perubahan terutama pada tingkat ade‘ (adat) dan spiritualitas. Upacara–upacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun orang–orang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam.
Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab Syafi‘i, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi oleh budaya Islam tampak pada acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir (aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil kepada orang yang meninggal, serta menunaikan kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan untuk melaksanakannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-kerajaan besar kala itu. Setelah kalangan bangsawan Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka seiring dengan waktu akhirnya agama Islam bisa diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan syariat Islam ini juga dilakukan oleh raja-raja Bone, di antaranya napatau‘ matanna‘ tikka‘ Sultan Alimuddin Idris Matindroe‘ Ri Naga Uléng, La Ma‘daremmeng, dan Andi Mappanyukki.
Konsep–konsep ajaran Islam ini banyak ditemukan persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontara‘. Konsep norma dan aturan yang mengatur hubungan sesama manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta saling mengingatkan juga terdapat dalam Lontara‘. Hal ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan sesama manusia pada ajaran agama Islam.
Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe‘ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh masyarakat Bugis.




Manusia Bugis
Sejarah orang–orang Bugis memang sangat panjang, di dalam teks–teks sejarah seperti karya sastra La Galigo dan Lontara‘ diceritakan baik awal mula peradaban orang–orang Bugis, masa kerajaan–kerajaan, budaya dan spritualitas, adat istiadat, serta silsilah keluarga bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan adat istiadat ini harus selalu dipertahankan sebagai bentuk warisan dari nenek moyang orang–orang Bugis yang tentunya sarat nilai-nilai positif.
Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran nilai yang terjadi baik dalam memahami maupun melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip ade‘ (adat) dan budaya masyarakat Bugis yang sesungguhnya. Budaya siri‘ yang seharusnya dipegang teguh dan ditegakkan dalam nilai–nilai positif, kini sudah pudar. Dalam kehidupan manusia Bugis–Makassar, siri‘ merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain siri‘.
Bagi Manusia Bugis-Makassar, siri‘ adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri‘ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri‘ dalam kehidupan mereka.(Hamid Abdullah, Manusia Bugis-Makassar .37).
Di zaman ini, siri‘ tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan. Pada prakteknya siri‘ dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan tindakan–tindakan yang anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Padahal nilai siri‘ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siri‘ harus dipertahankan pada koridor ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam dalam mengamalkannya.
Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis yang sesungguhnya. Sehingga jika dilihat secara utuh, sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia yang sarat akan prinsip dan nilai–nilai ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam di dalam menjalankan kehidupannya, serta sifat pang‘ade‘reng (adat istiadat) melekat pada pribadi mereka.
Mereka yang mampu memegang teguh prinsip–prinsip tersebut adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang turun dari dunia atas (to manurung) untuk memberikan keteladan dalam membawa norma dan aturan sosial di bumi.

0 komentar:

Rumah Bugis & Strata Sosial Orang Bugis

Menurut adat istiadat yang berlaku pada suku bugis, strata sosial orang dapat dilihat dari atap rumahnya. Pada atap rumah suku bugis berbentuk prisma, terdapat berbagai yang disebut dengan timpa’ laja. Berbagai model tutup bubungan inilah yang mewujudkan perbedaan strata sosial masyarakatnya.

Rumah tempat tinggal suku bugis dibedakan berdasarkan status sosial dalam suku bugis dikenal dengan istilah saoraja, salassa, dan bala. Saoraja raja, yang terdiri dari dua kata yaitu : sao berarti, gelar rumah raja dan raja berarti : besar besar, atau raja, penguasa. Jadi saoraja adalah rumah raja (penguasa). Yang ditempati oleh raja dan keturunannya atau kaum bangsawan. Sedangkan bala, adalah gelar rumah yang ditempati oleh orang maradeka atau orang biasa.

Bila dilihat dari segi bangsawannya, kedua jenis rumah (tempat tinggal) ini, tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil. Perbedaannya hanya terletak pada status penghuninya dan ukuran rumahnya.

Masalah rumah bugis serta yang bersangkut paut dengan rumah menurut kepercayaan / adat bugis. Dari ketaerangan La Ceppaga seorang Panrita Bola (70 – th) Alamat kampung Garessi Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau Kab. Barru. Dikutip dari Disst. Prof. Dr. A. Zainal Abidin Farid SH.

Bentuk Rumah Bugis

Bentuk rumah bugis : Persegi Empat
Kerangka Rumah bugis : (gambar sebelah)

Untuk mendirikan rumah selalu menggunakan dua arah sebagai arah yaitu timur dan barat.
Kalau rumah menghadap ke timur, maka letaknya : rumah terdiri dari : 4 tiang ke samping (dari kiri ke kanan). No. 1-2-3-4. dan 4 tiang ke belakang (dari depan ke belakang). No. I-II-III-IV
Tiang 1 = I adalah tiang tempat bersadarnya tangga yang mempunyai sifat laki-laki karena tangga adalah tempat lalu lintas mencari dan membawa rezeki dari sang pria (Kepala Rumah Tangga) untuk sang wanita (Ibu rumah tangga).

Tiang II+2 adalah tiang pusat yang mempunyai sifat perempuan untuk menyimpan dan mempergunakan rezeki/hasil yang diperoleh sang kepala rumah tangga. Tiang II – 2 bila hanya terbatas pada lantai, maka tiang III – 2 menggantikan fungsi fosil bola atau tiang pusat (pusar rumah).

Menurut kepercayaan orang bugis, mendirikan rumah adalah bagaikan menciptakan hidup baru bagi pria dan wanita, justru karena rumah itu rumah diklassifikasikan sebagai manusia. Bagaikan kehidupan sebagai pria dan wanita yaitu :

Tiang I – 1 = tempat bersandarnya tangga diumpakan pria. Tiang II – 2 atau III – 2 tiang pusat (pusar rumah) diumpakan wanita.

Dalam mendirikan rumah yang membujur ke timur diumpamakan rumah itu sebagai manusia berbaring membujur ke timur maka urutan tiang-tiangnya adalah:

I – 1, 1 – 2, 1 – 3, 1 – 4.

II – 1, II – 2, II – 3, II – 4.

III – 1, III – 2, III – 3, III – 4.

a. Tiang I – 1 difiksikan sebagai kepala manusia dan inilah yang dijadikan sandaran tangga, karan fungsi kepala sebagai manusia itu diterapkan kepada rumah tersebut, menjadi fungsi tempat sandaran rumah. Tangga itulah tempat lalu lintas sang pria mencari dan membawa rezeki kepada wanita. (diumpamakan pula sebagai bagian kepala/mulut tempat masuknya makanan ke perut.

b. Tiang II – 1 adalah masih merupakan bagian dari kepala, sedangkan tiang II – 2 atau III – 2 pusat rumah (fosi’ bola)

Pusat mansuia adalah bagian perut yang menyimpan makan untuk hidupnya. Sedang rumah diterapkan sebagai tempat menyimpan hasil/rezeki yang diperoleh oleh sang pria. Setelah kita mengetahui fungsi kedua tiang tersebut maka untuk mendirikan rumah maka kedua tiang inilah yang terlebih dahulu dipilih dan diteliti mutu dan sifat – sifatnya baiknya. Sifat baik dari tiang tersebut dilihat dari pusar (pangkal tangkai yang disebut pasu).

a.
Kalau Tiang itu bulat maka empat tiang harus diperiksa yaitu
Pada tiang I – 1, I – 2, II – 1 dan II – 2 atau III – 2 tidak boleh ada pusar yang berhadapan antara tiang I – 1 dan tiang II – 2 dan tiang II – 1 dengan tiang II – 2 atau II – 2.
b. Kalau tiang tiu persegi empat dan tiang II – 2 tidak melewati lantai maka hanya tiga tiang yang harus diperiksa yaitu tiang I – 1, dan tiang I – 2, dan tiang II – 1, tidak boleh ada pusar yang berhadapan antar ketiga tiang tersebut.

ad. a dan ad. b semuanya diperiksa mulai pada arateng sampai pada padongkot.

Lantai yang terdapat diantara tiang I – 1, I – 2, II – 1 dan II – 2 adalah lantai yang suci, yaitu tempat pertama – tama harus ditempati kepala dan ibu rumah tangga bermalam semalam atau tiga malam bila rumah itu mula ditempati dan setelah itu barulah pindah ke tempat tidurnya yang telah ditentukan khusus baginya, yaitu ruang yang ke II dari depan (Lontang Tengngae).

Sedang setiap orang yang meninggal dalam rumah tersebut harus ditempatkan pada lantai tersebut (lantai suci).

Setelah tiang untuk sandaran tangga dan tiang untuk pusat rumah telah ditentukan, barulah tiang-tiang dan perkakas rumah lainnya disiapkan.

Tata Cara Mendirikan Rumah

1. Melubang semua tiang-tiang dan melicinkannya (mappa’ dan makkattang).
Kalau tiang – tiang itu akan dilubangi dan dilicinkan maka yang pertama – tama yang harus dikerjakan ialah tiang sandaran tangga dan tiang pusar rumah setelah itu barulah alat – alat lainnya yang dikerjakan.

2. Mendirikan rumah. Dalam mendirikan rumah yang pertama-tama didirikan ialah tiang dasar atau pusar rumah barulah tiang tempat sandaran tangga yang menyusul tiang – tiang lainnya. Untuk mendirikan rumah menurut kepercayaan orang bugis, kedua tiang ini mempunyai fungsi yang ketat dasn oleh karena itu di bawah tiang tersebut disimpan benda-benda sebagai berikut:

* a. Kaluku (kelapa)
* b. Golla (gula)
* c. Aju Cenning (kayu manis)
* d. Ade Cenning (adas manis)
* e. Buah Pala

ad a, b, dan c diharapkan agar kehidupan rumah tangga selalu rukun dan bahagia dan murah rezeki.
ad. d, diharapkan agar setiap anggota rumah tangga menaati aturan-aturan adat yang berlaku dalam rumah tangga itu sendiri.

Menempati Rumah Baru (Menre Bola Baru)

1. Kepala dan Ibu rumah tangga bila menempati rumah baru, harus membawa ayam yaitu :
Kepala rumah tangga membawa ayam betina. Ibu rumah tangga membawa ayam jantan. Setelah kepala dan ibu rumah tangga sampai diatas rumah kedua ayam tersebut dilepaskan dan tidak boleh dipotong, karena dianggap sebagai ayam penjaga rumah.

Menurut kepercayaan orang Bugis, membawa ayam berarti kehidupan dan penghidupannya selalu dalam keadaan baik dan tentram, karena dalam istilah Bugis ayam adalah “Manu” diterapkan dalam kehidupan adalah manuanu mutoi atuwotuwongenna. Artinya baik-baik. Didalam menempati rumah baru Kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga menempati tempat yang suci satu malam, lalu pindah ke tempat yang telah disediakan yaitu pada Lontang Tengga (ruang tengah).

2. Sebelum kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga menempati rumah baru tersebut, terlebih dahulu ditempatkan buah-buahan yaitu :

* 1. Kelapa bertandan (Kaluku mattunrung) tua dan mudah.
* 2. Pisang bertandang (Otti Mattunrung) yang tua.
* 3. Nangka yang tua
* 4. Nenas yang tua
* 5. Tebu
* 6. Dan lain-lain yang manis-manis.

ad. 2. Dengan menghubungkan buah-buahan lainnya, dicita-citakan agar kehidupan dan penghidupan rumah tangga itu baik-baik dan bahagia. Anasa- cita - cita terkabul. (rifomi-nasai).

3. Setelah upacar menempati rumah baru berlangsung, disediakanlah makanan untuk para tamu-tamu dan bahkan seisi rumah, terutamah makanan yang menurut keper-cayaan orang-orang bugis membawa penga-ruh dalam kehidupan dan penghidupan dalam rumah tangga itu, antara lain :

a. Lana-lana (bedda’) kue ini adalah tepung mentah yang dicampur dengan kelapa dan gula merah. Lana-lana artinya “Mas-agena” (Longgar) = berkecukupan.

b. Jompo-jompo dan Onde-onde. Kue ini dibuat dari tepung ketan, bentuknya bundar, isinya gula merah. Khusus onde-onde cara memasaknya ialah dengan memasukkannya kedalam air yang se-dang mendidih dan sebelum masak onde-onde tersebut muncul terapung di atas air.
Menurut kepercayaan orang-orang Bugis, bahwa generasi di masa mendatang memper-oleh kehidupan dan penghidupan yang baik dan bahagia.

Mompo – Timbul – Muncul. Upacara menempati rumah baru kadang-kadang berlangsung selama 3 sampai 7 hari berturut-turut, yang dikunjungi oleh segenap famili, bahkan segenap penduduk dalam kampung tersebut.

Macam-macam Rumah Bugis dahulu kala

1. Salassa’ atau Saoraja.
Salassa’ hanya ditempati oleh arung (raja) yang memimpin pemerintahan dan lazim juga dise-but Saoraja. Saoraja dapat pula ditempati oleh Bangsawan dan/atau keturunan raja yang terdekat.

2. Salassa Baringeng (lantainya rata).
Salassa Baringeng (lantainya rata) yang ditempati oleh bangsawan yang disebut Anak Cera Ciceng.

3. Rumah tiga petak (lantainya bertingkat) memakai tamping tassoddo’.
Rumah tiga petak (lantai bertingkat) yang ditempati oleh mereka yang disebut ata simana (ata yang tidak dapat berpisah dengan raja/bangsawan dan mereka ini berhak menda-pat warisan baik materil maupun inmateril, antara lain kedudukan.

4. Rumah dua petak.
Rumah dua petak (Tellukkaarateng) ditempati oleh rakyat biasa termasuk:
Ata mana (hamba yang dibeli atau yang dikalahkan dalam judi atau dalam perang).
Ata Passaromase (hamba karena mencari kehidupan, lalu meng-hambakan diri).

Macam-macam Timpa’ Laja’

* 1. Salassa’ tidak terbatas banyaknya tingkatan Timpa’ Laja’nya.
* 2. Salassa Baringeng, hanya tiga tingkatan timpa’ laja’nya.
* 3. Rumah tiga petak, dua tingkatan timpa’ laja’nya.
* 4. Rumah rakyat / hamba, tidak bertingkat timpa’laja’nya.

Rumah orang Bugis, baik Saoraja maupun bola terdiri atas tiga bagian, ketiga bagian tersebut adalah

* (1) Awa Bola,
* (2) Ale Bola, dan
* (3) Rakkeang.

Awa Bola adalah kolom rumah yang terletak paa bagian bawah, antara lantai dan tanah.
Ale Bola adalah badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding rumah, terletak antara lantai dan loteng rumah.
Rakkeang adalah bagian rumah yang paling atas, bagian ini terdiri dari loteng dan atap rumah.
Pada Saoraja terdapat Timpa Laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampai sembilan tingkat, seperti dapat kita lihat pada Lontara Panguriseng Abbatirenna Anak Arungnge Ri Soppeng bahwa tingkat Rumah Adat Bugis ialah :

* I. Bocco Timpa’Laja 9 susun
* II. Bocco Timpa’Laja 7 susun
* III. Bocco Timpa’Laja 5 susun
* IV. Bocco Timpa’Laja 3 susun
* V. Bocco Timpa’Laja Polos,

(Mattulada, Prof,DR (1995)

Macam Tangga Rumah Bugis.

1. Safana, untuk alassa atau Saoraja dan salassa baringeng. Lazim terbuat bambu dengan lapisan/dasar bambu beranyam.
Safana juga dapat digunakan oleh rakyat biasa, yang membuat rumah tambahan (sarafo) bagi upacara perkawinan. Penganting dianggap sebagai raja sehari.

2. Tuka, yaitu tangga rumah Ata Simana’ yang mempnyai hubungan darah dengan arung dan atau bangsawan.
Disebut Tuka’ karena pemiliknya men-daki darahnya. Bahasa Bugis yang sinonim ialah tuppu, suatu istilah untuk bahagian ade’ (adat, hukum kebiasaan) yang mengatur tentang Hierarchie peraturan ade’.

3. Addengeng, yang terdiri dari :

* a. Addeneng yang mempunyai ibu tangga tiga buah, khusus untuk Pabbicara, pembantu raja, Arung Lili’ dan pejabat-pejabat negeri di luar golongan bansawan al. Inang tau, Anang, Tomacowa-cowa.
* b. Addeneng yang mempunyai ibu tangga dua buag, khusus untuk rakyat biasa dan abadi.


Bentuk rumah Bugis yang lain adalah Bola Sada’ yang berdampingan dua dengan sejajar bahagian depan, bentuk itu disebut Bola Sada’ karena sama besar dan sejajar, rumah ini dipereuntukkan bagi kalangan bangsawan, baik yang mempunyai jabatan negeri maupun tidak. Dari bentuk macam-macam rumah Bugis itu, bneserta timpa’laja serta tangganya membuktikan bahwa dalam masyarakat hukum orang Bugis dahulu terdapat standen sebagai berikut :

a. Arung (Raja) yang memerintah, yang lazim dikategorikan berdarah murni yang bergelar Datu, termasuk Ana’Mattola (Putra Mahkota).
b. Anakarung Bangsawan) yang ada pertalian darah dengan raja yang diklasifikasikan lagi dalam beberapa bagian.
c. Mardeka (Jemma Lappa’) termasuk tau Tongeng Karaja, yang masih mempunyai darah bangsawan, tetapi tidak dapat disebut Anakarung lagi, yaitu rakyat biasa yang jumlahnya terbanyak.
d. Ata (Hamba) abdi yang terdiri dari :

* 1. Ata Simana’ yaitu hamba yang tidak dapat dipisahkan dengan Raja atau bangsawan, yang dapat saling waris-mewarisi dengan Puangnya (tuannya) baik materil maupun inmateril.
* 2. Ata Mana’ yaitu hamba yang dibeli (lazim sanaknya sendiri yang menjualnya untuk merampas barang-barang pusaka bersama), atau orang yang dipidana mati tetapi diberi pengampunan, dapat hidup sebagai abdi raja/Bangsawan, atau ditawan dalam peperangan.
* 3. Ata Passaromase, yaitu hamba yang mengabdikan diri untuk dapat hidup, termasuk orang-orang yang kalah main judi atau berhutang, tetapi tak dapat membayar utangnya (pandeling).

Dalam semua bentuk dan macam rumah Bugis itu dikenal istilah Bola Gennea’ (rumah Sempurna). Terutama dalam hubungan filsafat dan pandangan hidup orang-orang Bugis yang disebut dengan Sulafa’ Eppa (persegi empat). Karena bentuk rumah harus persegi empat yang memiliki empat unsur kesempurnaan. Demikianpun bentuk kampung dahulu kala juga persegi empat. Orang-orang Bugis baru dikatakan sempurna dan lengkap kalau memiliki Sulafa’Eppa (laki-laki bersegi empat). Pribahasa dan Petuah Petitih: ”Iyyafa muabbaine mubolaifi Sulafa’ Eppa’e” berarti barulah engkau kawin kalau memiliki empat segi.
Seorang yang hendak bangun dari tidurnya, menyiapkan diri sebelum bangun, yang disebut mappatefu (melengkapi diri) supaya selamat menghadapi apapun juga. Dunia dan jagat semesta dipandang persegi empat.
Rumah barulah dianggap lengkap kalau tersediah tempat untuk :

* a. Tamu, Ialah ruangan bagian depan rumah.
* b. Kepala dan ibu rumah tangga, yaitu bagian tengah rumah, dimana terdapat juga posi’ bola lambang wanita dan kemakmuran.
* c. Anak-anak dan gadis-gadis dalam rumah tangga itu, bagian belakang.
* d. Para abdi (kalau ada), bahagiab belakan juga untuk wanita-wanita. Untuk laki-laki lazim ditempatkan di rumah kecil di saming atau di belakang induk rumah.


Jadi rumah bugis dibagi atas tiga bahagian yaitu :

* 1. Lontang risaliweng (bahagian depan)
* 2. Lontang Tengah (bahagian tengah) yang didinding dari bahagian depan.
* 3. Lontang ri laleng (bahagian dalam atau belakang)


Dalam memeliharah rumah dan rumah tangga, kampung dan negeri dipakai pedoman elompugi’ (nyanyioan Bugis yang mengandung makna yang mendalam sekali sebagai berikut:

Tapalla’-palla’ ri passirinna bolata tata-neng ade’.
Tafallimpo bunga fute.
Tuwo ade’ta mallimpo bunga futeta.

Arti lett. :
Mari kita memagari negara atau rumah kita dengan pagar adat.
Kita semarakkan keharuman seluruh isi negeri atau isi rumah kita.
Hidup adat kita, hidup mengaharum mewangi isi negeri atau rumah kita.

Sebagaimana negeri, kampung dan rumah, harus dipagari secara persegi empat, maka seseorang juga harus memagari dirinya dengan sulafa eppa yakni : Ade’, Rafang, Wari’, dan Tuppu (Adat, Yusrispudensi, Protokol, dan aturan chieracrchi).

Pappaseng (amanah) orang-orang Bugis dahulu terkenal, bahwa barang siapa yang pernah bernaung di pinggir rumah orang lain maka tidak diperbolehkan lagi berhati jahat terhadapnya : “Rekkua siya furami riyaccinaungi fassiringpolana seuwae tau, tempeddingngi rikira-kira rimaja’e.

Golongan bangsawan yang disebutkan di atas, dalam pergaulan sehari-hari oleh masyarakat disebut dengan sapaan, Datue, Bau, Petta, dan Puang. Namun kata puang ini juga diberikan sapaan kepada orang-orang yang dituakan atau dihormati serta sesama anak bangsawan yang mutlak menyapa kepada yang tua dengan kata Puang. Dan kata Daeng digunakan bagi yang bersatatus Tomadeceng, dalam menyapa sesamanya.

Inilah salah satu aspek budaya bagi masyarakat Bugis pada umumnya dan khususnya di Baringeng ini yang kemudian menjelma dalam system hubungan social dalam bentuk stratifikasi. Ia tumbuh dan berkembang hingga saat ini sebagai interaksi simbolik alam kehidupan masyarakat, sebagaimana masyarakat lainnya di berbagai golongan etnis di alam raya ini khususnya suku Bugis.

Seperti yan telah dipaparkan di muka bahwa penduduk yang mendiami Baringeng ini adalah 100% orang Bugis, maka dalam pergaulan sehari-hari mereka mernggunakan Bahasa Bugis. Demikian pula aspek kehidupan social lainnya dalam pergaulan sehari-hari di kalangan masyarakat Baringeng, pada umumnya warga yang berusia muda sangat menghormati orang-orang tua. Seperti misalnya dalam pergaulan, bila seorang anak yang sedang bercakap dengan orang yang seusia ayah atau ibunya, maka si anak tersebut akan selalu mengiringi ucapannya-ucapannya dengan kalimat atau ungkapan kata sesuai dengan status sosialnya, atau kata Puang, yaitu suatu ungkapan penghormatan yang biasa ditujukan kepaa golongan bangsawan. Demikian pula dalam penggunaan kata ganti yaitu :

* - Ada Cenga, yaitu untkaspan kata yang ditujukan kepada raja atau anak Bangsawan, atau orang yang status social lebih tinggi dari kita, seperti kata “Anutta Puang, Alen Petta Puang”.
* - Ada Makkarateng, artinya kata-kata yang diperuntukkan kepada yang sama derajatnya contoh kata “Idi’, anutta pada idi” kata pada idi ini tidak boleh kita katakana apabila kita berbincang dengan seorang raja atau bangsawan.
* - Ada Cuku’,artinya ucapan - ucapan yang diungkapkan raja, anak bangsawan kepada yang dibawahnya, seperti “iko, anummu”.

Penempatan ketiga kata ganti inilah biasa menjadi ukuran bagi masyarakat Bugis dalam arti “Misseng Bettuang” dan menjadi pengukuran dan penilaian orang/masyarakat.
Kehidupan social masyarakat yang masih nampak hingga kini di Baringeng ini yang masih nyata dan menonjol, ialah semangat kerja sama secara gorong royong, sebagai sosialisasi kebersamaan dalam bentuk kerja secara gotongroyong, seperti ketika terjadi atau adanya warga yang ditimpa musibah kematian, perkawinan, khitanan, mendirikan rumah baru, kegiatan-kegiataan keagamaan, serta menanam padi, dan sebagainya. Sifat gotong royong ini disebut ”Sibali reso atau Sibali Peri” yang bermakna sama-sama bekerja dan sama-sama menanggung resiko untuk kemaslahatan bersama.

Dalam kehidupan budaya, nampaknya masyarakat yang mendiami Baringeng ini tidak mempunyai perbedaan dengan kehidupan budaya pada kerajaan kecil lainnya yang merupakan bekas wilayah Kerajaan Soppeng pada khususnya dan pada daerah Bugis pada umumnya. Hal itu dapat dimengerti dan dipahami bahwa Baringeng ini adalah bekas daerah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Petta Baringeng. Namun yang menjadi kajian dalam penulisan dan penelitian ini adalah H. Andi Mappa Petta Baringeng.

Sebagaimana Baringeng ini mengenl berbagai macam seni budaya tradisional, seperti: seni tari, seni sastra dn seni musik. Seni tari yang sering dilakukan ialah Tari Padduppa artinya tarian yang dilakukan pada saat penjemputan tamu dikala ada pengantin atau perayaan atau menjemput tamu, yang datang pada acara itu. Seni sastra yang merupakan bagian tak terpisahkan dari seluruh rangkaian kegiatan komunikasi antara sesama baik dalam berkomunikasi menyampaikan maksud maupun dalam berkomunikasi dalam pembicaraan nasihat atau petua-petua leluhur, hal ini dimaksudkan adalah kata-kata “Galigo” kata sindiran yang bermakna.

Biasanya bentuk-bentuk “Galigo” dari Bahasa Lontara Bugis ini didengar pada saat ada peminanan / pelamaran, pesta perkawinan serta penerimaan tamu. Bukan hanya itu tap semua dapat dilakukan diucapkan dalam kehidupan berkomunikasi dengan sesamanya. Salah satu ucapan kata Galigo dikala kita menerima tamu ialah :

“Topole enre’ni’ mai ri bola, majeppu pole-inittu bola malappa, punnae bola massagena. talesso tatudang tejjali tettappere banna mase-mase”,

Makna yang terkandung di dalam ungkapan kata Galigo ini ialah Tuan rumah mengundang orang yang datang (tamunya) an menyampaikan kerelaannya menerima tamunya, kemudian merendahkan diri tidak punya apa-apa, namun yang ada adalah keakraban antara kita.

Oleh : Ambo Dalle
*Forum Facebook Wijanna Latemmamala

0 komentar:

PENOBATAN ADDATUANG SIDENRENG KE-21

Warga kabupaten Sidenreng-Rappang patut berbangga. Setelah sekitar 85 tahun, akhirnya Sidenreng kembali menobatkan Addatuang yang baru. Yang Mulia Paduka (YMP) Haji Andi Patiroi Pawiccangi terpilih menjadi Addatuang Sidenreng ke-21. Beliau adalah cucu langsung dari Addatuang Sidenreng terakhir, yakni Petta La Cibu.
Acara penobatan ini berlangsung khidmat. Diadakan di Soraja Massepe pada hari Kamis, 22 Desember 2012. Prof. A. Syarif To Appatunru Sultan Abd Munir Kuningin Bone selaku pemangku adat Sulawesi Selatan memimpin acara penobatan ini. Pada acara ini, hadir berbagai undangan dari beberapa Sultan dan Raja se-Nusantara dan se-Sulawesi Selatan.
Pelantikan Addatuang Sidenreng ini dimaksudkan untuk melanjutkan amanah selaku Addatuang berikut perangkat adat yang ada.
Dewakara (Dewan Ketahanan Adat dan Keraton Nusantara) bertindak selaku penyelenggara kegiatan ini. Andi Sukri Baharman sebagai ketua panitia.
Ada dua pendapat tentang asal mula Sidenreng. Pendapat pertama mengatakan bahwa adik Datu Sangalla yang meninggalkan Sangalla mengikuti aliran sungai. Mereka saling berpegangan tangan (sirenreng) menuju pesisir danau yang kelak disebut Sidenreng. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa, kedatangan Tomanurung yakni Manurungnge ri Bulu Lowa yang diangkat oleh masyarakat setempat sebagai Addaowang. Addaowang berarti tempat berpeluk. Dikemudian hari, gelar Addaowang sebagai pemimpin tertinggi di Sidenreng berubah menjadi Addatuang.
Di masa pemerintahan kolonial Belanda, kerajaan Sidenreng digabung dengan kerajaan Rappang menjadi Swapraja. Hingga dimasa kemerdekaan, terbentuk kabupaten Sidenreng-Rappang.
Diharapkan dengan terbentuknya kelembagaan adat diberbagai daerah, mampu menjadi benteng pelestari kebudayaan daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagaimana amanah UUD 1945.(arm)

0 komentar:

Ompona Ulengnge

Ompona Ulengnge


Oleh Chenk Benk pada 6 November 2013 pukul 10:11
tulisan ini kalau tidak salah pernah diposting oleh salah seorang member grup sempugi pada tahun 2010 lalu, namun filenya saya lihat sudah tidak ada, sehingga saya terdorong untuk memuatnya kembali

PAPPAKAINGENarekko mattajengngi bosi mappammula ompo siwenninna lettu ompo tellumpenninna uleng Muharram naengka mua bosie namasero, namaraja lempe’na, mannessani ritu tuoulumi pattaungnge namaega mua bosinna rilalenna ritu.Jaji madeceng manengmui uruwaena tungke-tungke pananrangnge rilalenna sitaungnge ritu. Naiyamua narekko ritajengngi bosinna pattaungengnge mappammula ompo siwenninna lettu ompo tellumpenninna namadodong, maponco bosinna, madodong maponco’to bosinna pananrangnge, mabaiccu’to lempe’na.Narekko ritajengngi bosinna pattaungengnge ritu mappammula ompo siwenninna lettu ompo tellumpenninna nade’siseng bosinna, mappannessani ritu mateului pattaungengnge, jaji weddingngi jaji timo’e, iyarega serangnge iyanaritu ittana 3 uleng, 5 uleng, 7 uleng, iyarega timo 9 ulengna. Makkutoparo de’nappabbati sangadinna elonapa Puangnge Jaji, Amin, Wassalam...

PAPPAKAINGEA. Naiya riasengnge Nakase Taung iyanaritu: sitaung nawawa akkasolanna, iga-iga tau missengngi narekko maelo’i pugau seddi hajat, pada-padanna maelo’i mappabbotting, biasa tomatoatta de’ nallorangngi ripugau, nasaba’ mabbiasa engka akkasolanna ritu.B.Makkutoparo riasengnge Nakase Uleng (garutu) iyanaritu 3 uleng nawawa akkasolanna. Iga-iga tau maelo pugau seddi hajat iyarega jama-jamang pada-padanna mappabbotting iyarega maelo lao jokka-jokka mabela (lao sompe), biasa tomatoatta de’nallorangngi riougau nasaba mabbiasa engka ritu akkasolanna.C. Nasaba engkanna akuasangenna Puang Allah Ta’ala, narimakkuannanaro biasa engka jaji bahaya narekko napugau’i tauwe rilalenna ritu (esso Nakase Taung sibawa Nakase Uleng (garutu).

OMPORENNA ULENG MADECENGNGE / MAJA’E AGI-AGI MAELO RIPUGAU RILALENNA RITU

Ompo:Siwenni : esso anynyarang asenna, ana-ana jaji malampe sunge’i pegaui passurong Puang, matturu’i ripajajianna, masempo dalle’i nasaba esso ripancajinna Nabi Adam. Agi-agi pura tempeddingngi riappammulang.Duampenni : esso jonga asenna, najajiangngi ana’ pertama, maupe’i namasiga mallakkai, apa iyanaritu naripancaji neneta Hawa. Agi-agi madecengnge wedding mua ripugau, rilaoangngi sompe, runtu’ki alabang, tapi de’ nawedding rilaoangngi mammusu.Tellumpenni : esso macang asenna, nakase’i nasaba esso najajiangnge Kabil ana’na Adam. Ana-ana jaji madorakai ripajajianna, maja’i riappabbottingeng, majai riattanengeng, rilaoangngi mabela nakennai sukkara, iyanaro naripassu’ Adam-Hawa pole ri surugana Puang Allah Ta’ala.Eppa wenninna : esso meyong asenna, najajiangngi ana baraniwi, makessingngi riappanorang bine, tapi ompo 4-5-6-7-13-15-17 majai riappammulang mattaneng ase nasaba nanrei ule, makessing muto rilaoang mabela, narekko tau kawing pangkagarengngi nadenaullei massarang, narekko riakkalangngi inreng denariullei waja’i.Lima ompo : esso kalapui asenna, najajiangngi ana madorakai ripajajianna, nakase’i de nawedding riappanorang bine.Enneng ompo: esso tedong asenna, makessing mua rilaoang mabela, runtu’ki alabang, makessing muto rikawingang, najajiang ana tanra maccai mabbicara toriolo, pugau’i passurong Puang, tapi kasi-asiwi, makessingngi riangelliang tedong (saping) iyarega olo-kolo mawijai, makessingngi riakkabbureng wakke nasaba teai lobbang wakke’na ritu, makessing muto riappanorang bine (ase).Pitu ompo : esso balawo asenna, tempeddingngi riakkalang inreng nasaba tenriullei waja’i, maja’ toi riellauang wae galung nasaba nanrei kare ase ritu, tapi makessingngi riakkebbureng pakkakkasa no’ ri salo’e/ri tasi’e, madeceng muto rikawingeng nasaba weddingngi sugi.Aruwa ompo : esso sapingngi asenna, ana-ana jaji malomo patulungngi ripadanna tau, masempo dalle’i, madecengngi rikawingeng nenniya riappatettongeng bola nasaba mattiro camming asenna, madeceng muto rilaoang sompe (tega-tega), madeceng riappammulang balu-balu.Asera ompo : esso asui asenna, madecengngi riappammulang mattaneng rigalungnge sibawa waena galungnge mappammula malaki’ wae galung, mauni sibotolo’ muna naripenre riakkeangnge, najajiangngi ana-ana madorakai ripajajianna sibawa ri Puang Allah Ta’ala. Narekko rikawingengngi malomoi massarang iyarega matei masitta makkunraie.Seppulo ompo : esso nagai asenna, maja’i riappammulang mattaneng rigalungnge/ridare’e, makessing tosi rilaloang mangolo riarungnge, makessing riabbottingeng, najajiangngi ana’ maupe’i.11 ompo : esso bembe’i asenna, makessingngi nasaba iyanaritu nariputtama Nabi Adam ri surugae, najajiangngi ana’ turu’, maupe’i, malampe sunge’i napugau’i passuroangna Puang Allah Ta’ala.12 ompo : esso gajai asenna, temmagagai tau laloe, toriwelaiye, tau ripoleiye nasaba iya najajiang Nabi Muhammad SAW, najajiang ana maupe’i pogau’i passuroang, madeceng riappanorang bine, agi-aginna madecengngi nasaba barakka’na Nabitta Muhammad SAW.13 ompo : esso singa asenna, nakase’i (maja’i) nasaba esso ritununna api Nabi Ibrahim, ripakkerina Raja Namrud, najajiangngi ana mabbiasai ujangeng, rilaoangngi mabela biasai nakennaki lasa ritengnga laleng atau mateki rilaotta.14 ompo : esso serigala asenna, sininna jama-jamang madecengnge salama’i ripugau, makessingngi rilaoang mammusu, dangkang, sibawa rikawingeng nasaba iyanaritu narijajiang Nabi Sulaiman, najajiangngi ana sugi’i.15 ompo : esso iti asenna, ana-ana jaji pogau’i passuroang, naniriwi pappesangka, turu’i ripajajianna, riammasei ri padanna tau, macanti’i tappana nasaba najajiangnge Nabi Yusuf, tempeddingngi riappatettongeng bola nasaba teyai nasalai lasa punnana, rilaoangngi sompe nakennaki lasa atau halangeng.16 ompo : esso bawi asenna, nakase’i nasaba esso ribuanna Nabi Yusuf rikalebbongnge ri padaranena, ana-ana jaji ujangengngi, agi-agi maja’i ripugau kecuali mattaneng ikkaju ki’, mabbuai, madecengngi riakkabbureng onrong doi’ teyai lobbang.17 ompo : esso jarakenniai asenna, madecengngi rilaoang mangolo riarungnge, rilaoang madduta teyai tenritarima, rilaoangngi riwanua laingnge madecengngi.18 ompo : esso balipeng asenna, nakase’i nasaba esso najajiangnge Nabi Isa, najajiangngi ana macanti’i, iyatonaro naripancaji matanna essoe, salama’i rilaoang mabela atau sompe, narekko jajiang ana napeddiri ati tomatoanna, tapi pogau’i passuroang Puang Allah Ta’ala.19 ompo : esso lancengngi asenna, najajiang ana pogau’i passurongna Puang Allah Ta’ala, malomoi sugi, malomo atiwi ripadanna tau sibawa ripajajianna, esso najajiangnge Nabi Yakub, makessingngi rilaoang dangkang.20 ompo : esso ula’ asenna, makessing ladde rilaoang madduta, najajiangngi ana teyai tessugi, esso najajiangnge Nabi Ismail.21 ompo : esso tau asenna, nakase’i nasaba esso najajiangnge Fir’auna, tau rigellie ri Puang Allah Ta’ala, narekko riappattettongengngi bola teyai tennanre api, narekko riappammulangngi tennung atau riassapparengngi tennung teyai tenriaddorang tau mate, ponco’na ada appakeng parewa agi-agi aja’na naripammulai, kuaenna parewa bola tempeddingngi riala, pada-padai narekko ompo siwenniwi akerekenna.22 ompo : esso aloi asenna, narekko anu madecengmua, salama’i ripugau’, esso naripancajianna malaika’e, najajiangngi ana tanra turu’i ripajajianna, turusitoi passurong Puang Allah Ta’ala, salama’i rilaoang sompe, rilaoangngi mammusu ricau’i balie, ko ‘idi rilaoi idi tosi ricau’.23 ompo : esso incale asenna, makessingngi riabbottingeng, sawei mawase’ki, riangelliang appakeng temmaradde’i ridi, tapi makessingngi riangelliang balu-balu, magatti’i tarala namakessing sarona.24 ompo : esso balipengi asenna, makessingngi riappabbottingeng, najajiangngi ana masempo dalle’i nasaba timunnami kedo jajisi pattujunna, makessingto riangelliang alo-kolo nasaba mawijai ritu.25 ompo : esso balawoi asenna, nakase’i nasaba nakennai lupu kampongnge, pituttaungngi tika, najajiangngi Nabi Ibrahima, ana jaji matturu’i ri Puang Allah Ta’ala sibawa topajajianna, narekko riappabbottingengngi teyai temmassarang, pangkagarengngi mallaibine, makessingi rilaoang massinge pappainreng nasaba teyai tenriwaja, mauni maega muna.26 ompo : esso serigala asenna, makessingi rilaoangngi sompe, riabbotingengngi ana jawiji sugi, makessing riattanengeng agi-agi makessing maneng mui ri jama.27 ompo : esso Nabi asenna, makessingngi rilaoang mabela, riappangujuang menre ritana Mekkah, makessingto riappanorang bine, riappattettongeng bola, riakkalang inreng nasaba masitta’i riwaja, riappakkennang pangulu bangkung, passorong bessi, riakkabbureng addeneng, massuro mallanro kawali tappi.28 ompo : esso kalapu asenna, najajiang ana pogau’i passurong, makessingngi riakkabbureng wakke olokolo nasaba mawijai, makessing to riabbottingeng.29 ompo : esso sikadongngi asenna, madeceng riallantikeng tomapparenta nasaba mattuppu batui batena mapparenta, madeceng to riangelliang balu-balu nasaba magatti’i taralla, naekiya maja’i riangelliang appakeng nasaba nalai pelolang atau tabbei, madecetto rilaoang sompe, riattanengeng, agi-agi jama-jamang madeceng manengi ritu.30 ompo : esso manu asenna, makessingi rilaoang dangkang nasaba salama’i iyatonaro naripaturung dalle’e risininna ripancajie, makessingngi riellau doangeng rimunri sempajang assara’, iyatonae esso kaminang macoa, appettung bicaratoi sininna pananrangnge rilangi’e, ana jaji malampe sunge’i namasempo dalle’i napugau’i passuroanna Puang Allah Ta’ala, iyatona riaseng tepu lotong.

Ompona Ulengnge

Oleh Chenk Benk pada 6 November 2013 pukul 10:11
tulisan ini kalau tidak salah pernah diposting oleh salah seorang member grup sempugi pada tahun 2010 lalu, namun filenya saya lihat sudah tidak ada, sehingga saya terdorong untuk memuatnya kembali

PAPPAKAINGENarekko mattajengngi bosi mappammula ompo siwenninna lettu ompo tellumpenninna uleng Muharram naengka mua bosie namasero, namaraja lempe’na, mannessani ritu tuoulumi pattaungnge namaega mua bosinna rilalenna ritu.Jaji madeceng manengmui uruwaena tungke-tungke pananrangnge rilalenna sitaungnge ritu. Naiyamua narekko ritajengngi bosinna pattaungengnge mappammula ompo siwenninna lettu ompo tellumpenninna namadodong, maponco bosinna, madodong maponco’to bosinna pananrangnge, mabaiccu’to lempe’na.Narekko ritajengngi bosinna pattaungengnge ritu mappammula ompo siwenninna lettu ompo tellumpenninna nade’siseng bosinna, mappannessani ritu mateului pattaungengnge, jaji weddingngi jaji timo’e, iyarega serangnge iyanaritu ittana 3 uleng, 5 uleng, 7 uleng, iyarega timo 9 ulengna. Makkutoparo de’nappabbati sangadinna elonapa Puangnge Jaji, Amin, Wassalam...

PAPPAKAINGEA. Naiya riasengnge Nakase Taung iyanaritu: sitaung nawawa akkasolanna, iga-iga tau missengngi narekko maelo’i pugau seddi hajat, pada-padanna maelo’i mappabbotting, biasa tomatoatta de’ nallorangngi ripugau, nasaba’ mabbiasa engka akkasolanna ritu.B.Makkutoparo riasengnge Nakase Uleng (garutu) iyanaritu 3 uleng nawawa akkasolanna. Iga-iga tau maelo pugau seddi hajat iyarega jama-jamang pada-padanna mappabbotting iyarega maelo lao jokka-jokka mabela (lao sompe), biasa tomatoatta de’nallorangngi riougau nasaba mabbiasa engka ritu akkasolanna.C. Nasaba engkanna akuasangenna Puang Allah Ta’ala, narimakkuannanaro biasa engka jaji bahaya narekko napugau’i tauwe rilalenna ritu (esso Nakase Taung sibawa Nakase Uleng (garutu).

OMPORENNA ULENG MADECENGNGE / MAJA’E AGI-AGI MAELO RIPUGAU RILALENNA RITU

Ompo:Siwenni : esso anynyarang asenna, ana-ana jaji malampe sunge’i pegaui passurong Puang, matturu’i ripajajianna, masempo dalle’i nasaba esso ripancajinna Nabi Adam. Agi-agi pura tempeddingngi riappammulang.Duampenni : esso jonga asenna, najajiangngi ana’ pertama, maupe’i namasiga mallakkai, apa iyanaritu naripancaji neneta Hawa. Agi-agi madecengnge wedding mua ripugau, rilaoangngi sompe, runtu’ki alabang, tapi de’ nawedding rilaoangngi mammusu.Tellumpenni : esso macang asenna, nakase’i nasaba esso najajiangnge Kabil ana’na Adam. Ana-ana jaji madorakai ripajajianna, maja’i riappabbottingeng, majai riattanengeng, rilaoangngi mabela nakennai sukkara, iyanaro naripassu’ Adam-Hawa pole ri surugana Puang Allah Ta’ala.Eppa wenninna : esso meyong asenna, najajiangngi ana baraniwi, makessingngi riappanorang bine, tapi ompo 4-5-6-7-13-15-17 majai riappammulang mattaneng ase nasaba nanrei ule, makessing muto rilaoang mabela, narekko tau kawing pangkagarengngi nadenaullei massarang, narekko riakkalangngi inreng denariullei waja’i.Lima ompo : esso kalapui asenna, najajiangngi ana madorakai ripajajianna, nakase’i de nawedding riappanorang bine.Enneng ompo: esso tedong asenna, makessing mua rilaoang mabela, runtu’ki alabang, makessing muto rikawingang, najajiang ana tanra maccai mabbicara toriolo, pugau’i passurong Puang, tapi kasi-asiwi, makessingngi riangelliang tedong (saping) iyarega olo-kolo mawijai, makessingngi riakkabbureng wakke nasaba teai lobbang wakke’na ritu, makessing muto riappanorang bine (ase).Pitu ompo : esso balawo asenna, tempeddingngi riakkalang inreng nasaba tenriullei waja’i, maja’ toi riellauang wae galung nasaba nanrei kare ase ritu, tapi makessingngi riakkebbureng pakkakkasa no’ ri salo’e/ri tasi’e, madeceng muto rikawingeng nasaba weddingngi sugi.Aruwa ompo : esso sapingngi asenna, ana-ana jaji malomo patulungngi ripadanna tau, masempo dalle’i, madecengngi rikawingeng nenniya riappatettongeng bola nasaba mattiro camming asenna, madeceng muto rilaoang sompe (tega-tega), madeceng riappammulang balu-balu.Asera ompo : esso asui asenna, madecengngi riappammulang mattaneng rigalungnge sibawa waena galungnge mappammula malaki’ wae galung, mauni sibotolo’ muna naripenre riakkeangnge, najajiangngi ana-ana madorakai ripajajianna sibawa ri Puang Allah Ta’ala. Narekko rikawingengngi malomoi massarang iyarega matei masitta makkunraie.Seppulo ompo : esso nagai asenna, maja’i riappammulang mattaneng rigalungnge/ridare’e, makessing tosi rilaloang mangolo riarungnge, makessing riabbottingeng, najajiangngi ana’ maupe’i.11 ompo : esso bembe’i asenna, makessingngi nasaba iyanaritu nariputtama Nabi Adam ri surugae, najajiangngi ana’ turu’, maupe’i, malampe sunge’i napugau’i passuroangna Puang Allah Ta’ala.12 ompo : esso gajai asenna, temmagagai tau laloe, toriwelaiye, tau ripoleiye nasaba iya najajiang Nabi Muhammad SAW, najajiang ana maupe’i pogau’i passuroang, madeceng riappanorang bine, agi-aginna madecengngi nasaba barakka’na Nabitta Muhammad SAW.13 ompo : esso singa asenna, nakase’i (maja’i) nasaba esso ritununna api Nabi Ibrahim, ripakkerina Raja Namrud, najajiangngi ana mabbiasai ujangeng, rilaoangngi mabela biasai nakennaki lasa ritengnga laleng atau mateki rilaotta.14 ompo : esso serigala asenna, sininna jama-jamang madecengnge salama’i ripugau, makessingngi rilaoang mammusu, dangkang, sibawa rikawingeng nasaba iyanaritu narijajiang Nabi Sulaiman, najajiangngi ana sugi’i.15 ompo : esso iti asenna, ana-ana jaji pogau’i passuroang, naniriwi pappesangka, turu’i ripajajianna, riammasei ri padanna tau, macanti’i tappana nasaba najajiangnge Nabi Yusuf, tempeddingngi riappatettongeng bola nasaba teyai nasalai lasa punnana, rilaoangngi sompe nakennaki lasa atau halangeng.16 ompo : esso bawi asenna, nakase’i nasaba esso ribuanna Nabi Yusuf rikalebbongnge ri padaranena, ana-ana jaji ujangengngi, agi-agi maja’i ripugau kecuali mattaneng ikkaju ki’, mabbuai, madecengngi riakkabbureng onrong doi’ teyai lobbang.17 ompo : esso jarakenniai asenna, madecengngi rilaoang mangolo riarungnge, rilaoang madduta teyai tenritarima, rilaoangngi riwanua laingnge madecengngi.18 ompo : esso balipeng asenna, nakase’i nasaba esso najajiangnge Nabi Isa, najajiangngi ana macanti’i, iyatonaro naripancaji matanna essoe, salama’i rilaoang mabela atau sompe, narekko jajiang ana napeddiri ati tomatoanna, tapi pogau’i passuroang Puang Allah Ta’ala.19 ompo : esso lancengngi asenna, najajiang ana pogau’i passurongna Puang Allah Ta’ala, malomoi sugi, malomo atiwi ripadanna tau sibawa ripajajianna, esso najajiangnge Nabi Yakub, makessingngi rilaoang dangkang.20 ompo : esso ula’ asenna, makessing ladde rilaoang madduta, najajiangngi ana teyai tessugi, esso najajiangnge Nabi Ismail.21 ompo : esso tau asenna, nakase’i nasaba esso najajiangnge Fir’auna, tau rigellie ri Puang Allah Ta’ala, narekko riappattettongengngi bola teyai tennanre api, narekko riappammulangngi tennung atau riassapparengngi tennung teyai tenriaddorang tau mate, ponco’na ada appakeng parewa agi-agi aja’na naripammulai, kuaenna parewa bola tempeddingngi riala, pada-padai narekko ompo siwenniwi akerekenna.22 ompo : esso aloi asenna, narekko anu madecengmua, salama’i ripugau’, esso naripancajianna malaika’e, najajiangngi ana tanra turu’i ripajajianna, turusitoi passurong Puang Allah Ta’ala, salama’i rilaoang sompe, rilaoangngi mammusu ricau’i balie, ko ‘idi rilaoi idi tosi ricau’.23 ompo : esso incale asenna, makessingngi riabbottingeng, sawei mawase’ki, riangelliang appakeng temmaradde’i ridi, tapi makessingngi riangelliang balu-balu, magatti’i tarala namakessing sarona.24 ompo : esso balipengi asenna, makessingngi riappabbottingeng, najajiangngi ana masempo dalle’i nasaba timunnami kedo jajisi pattujunna, makessingto riangelliang alo-kolo nasaba mawijai ritu.25 ompo : esso balawoi asenna, nakase’i nasaba nakennai lupu kampongnge, pituttaungngi tika, najajiangngi Nabi Ibrahima, ana jaji matturu’i ri Puang Allah Ta’ala sibawa topajajianna, narekko riappabbottingengngi teyai temmassarang, pangkagarengngi mallaibine, makessingi rilaoang massinge pappainreng nasaba teyai tenriwaja, mauni maega muna.26 ompo : esso serigala asenna, makessingi rilaoangngi sompe, riabbotingengngi ana jawiji sugi, makessing riattanengeng agi-agi makessing maneng mui ri jama.27 ompo : esso Nabi asenna, makessingngi rilaoang mabela, riappangujuang menre ritana Mekkah, makessingto riappanorang bine, riappattettongeng bola, riakkalang inreng nasaba masitta’i riwaja, riappakkennang pangulu bangkung, passorong bessi, riakkabbureng addeneng, massuro mallanro kawali tappi.28 ompo : esso kalapu asenna, najajiang ana pogau’i passurong, makessingngi riakkabbureng wakke olokolo nasaba mawijai, makessing to riabbottingeng.29 ompo : esso sikadongngi asenna, madeceng riallantikeng tomapparenta nasaba mattuppu batui batena mapparenta, madeceng to riangelliang balu-balu nasaba magatti’i taralla, naekiya maja’i riangelliang appakeng nasaba nalai pelolang atau tabbei, madecetto rilaoang sompe, riattanengeng, agi-agi jama-jamang madeceng manengi ritu.30 ompo : esso manu asenna, makessingi rilaoang dangkang nasaba salama’i iyatonaro naripaturung dalle’e risininna ripancajie, makessingngi riellau doangeng rimunri sempajang assara’, iyatonae esso kaminang macoa, appettung bicaratoi sininna pananrangnge rilangi’e, ana jaji malampe sunge’i namasempo dalle’i napugau’i passuroanna Puang Allah Ta’ala, iyatona riaseng tepu lotong.

0 komentar:

SEJARAH SINGKAT TERBENTUKNYA KERAJAAN WAJO

Ada dua tradisi sejarah terbentuknya kerajaan Wajo. Pertama versi tutur,yang disebut sebagai Pau-Pau ri Kadong. Dan versi kedua yaitu versi tulis. Yaitu versi lontara antara lain, Lontara Sukkuna Wajo, Lontara Attoriolong ri Wajo, Lontara Akkarungeng ri Wajo dan Kroniek Van Wadjo,yang merupakan hasil transkripsi J. Noorduyn pada salah satu naskah kronik Wajo lainnya.

Pau-Pau ri Kadong secara singkat bercerita tentang seorang putri Luwu yang sakit kulit, yakni We Tadampali. Atas masukan dari Hadat Luwu dan kebaikan rakyat Luwu, beliau dihanyutkan bersama pengikutnya agar tidak menjangkiti orang Luwu.

Ketika terdampar, beliau membuat pemukiman. Hingga suatu saat, beliau dijilat oleh kerbau belang hingga sembuh. Di saat bersamaan, seorang pangeran dari Bone beserta rombongannya yang sedang berburu, singgah beristirahat. Kebetulan, sang pangeran beserta rombongannya. Sang pangeran kaget melihat ada perkampungan kecil ditempat tersebut.Ketika mendatangi rumah besar (rumah We Tadampali) sang pangeran pun kaget hingga pingsan melihat kecantikan We Tadampali.

Pulang ke Bone, sang Pangeran meminta pada ayahandanya sang Raja agar segera dinikahkan. Singkat kata, lamaran pun diajukan ke Luwu dan diterima. Sang Pangeran Bone beserta We Tadampali hidup bahagia dan melahirkan putra-putra yang kelak menjadi paddanreng yang mendirikan Wajo.

Sedang versi kronik secara umum menggambarkan sebagai berikut. Berbeda dengan kerajaan-kerajaan lainnya di jazirah selatan Sulawesi, Wajo tidak memulai dengan kondisi chaos. Namun kondisi damai, dimana para migran dari berbagai arah datang berkumpul disebuah pesisir danau yang kelak disebut Lampulung. Disebut Lampulung sebab berasal dari bahasa Bugis Sipulung yang berarti berkumpul. Ditempat itu ada seorang tua yang tidak diketahui nama aslinya yang digelari Puang ri Lampulung. Komunitas Lampulung ini membentuk beberapa perkampungan seperti Saebawi.

Sepeninggal Puang ri Lampulung, masyarakat Lampulung bubar. Hingga menemukan seorang tokoh yang sama seperti Puang ri Lampulung seperti kemampuan meramal dan teknik pengelolaan pertanian yang digelari Puang ri Timpengeng. Akhirnya terbentuk komunitas baru di Boli.

Masyarakat Boli sebagaimana masyarakat Lampulung hidup aman, tertib dan sejahtera hingga Puang ri Timpengeng wafat. Masyarakat Boli pun kehilangan pegangan. Kehidupan bermasyarakat mulai tidak tertib, berlaku hukum rimba. Hingga akhirnya, datanglah La Paukke, seorang pangeran kedatuan Cina/Mampu. La Paukke mendirikan kerajaan yang disebut Cinnotabi.

Pelan tapi pasti, kerajaan Cinnotabi mulai berkembang. La Paukke Arung Cinnotabi I digantikan oleh putrinya, We Panangngareng sebagai Arung Cinnotabi II. Kejayaan Cinnotabi di era Arung Cinnotabi III, We Tenrisui putri We Panangngareng. Beliau digantikan putranya, La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV.

Setelah La Patiroi wafat, adat Cinnotabi mengangkat kedua putranya yaitu La Tenribali dan La Tenritippe sebagai Arung Cinnotabi V. Namun, dua pemimpin akan menyebabkan ketidakstabilan dalam pemerintahan. Disebutkan bahwa, La Tenritippe kurang adil dalam memutus perkara. Sehingga pejabat adat Cinnotabi beserta rakyatnya meninggalkan Cinnotabi dan berkampung di Boli.

Ketiga bersepupu, La Tenritau menyebut daerahnya Majauleng. La Tenripekka menyebut daerahnya Sabbamparu. Sedang La Matareng menyebut daerahnya Takkalalla. Ketiga daerah ini menyebut dirinya TelluE Turungeng Lakka. Kemudian berubah menjadi Lipu Tellu KajuruE. Lipu Tellu KajuruE kemudian melamar La Tenribali yang sebelumnya mendirikan kerajaan Penrang untuk menjadi raja Wajo.

Melalui sebuah perjanjian, Assijancingengnge ri Majauleng, maka didirikanlah kerajaan Wajo. Disebut Wajo sebab perjanjian tersebut diadakan dibawah bayang-bayang=wajo-wajo pohon Bajo. La Tenribali digelari Batara Wajo.

Sepeninggal La Tenribali, maka putranya yaitu La Mataesso diangkat menjadi Batara Wajo II. Kemudian La Pateddungi to Samallangi diangkat menjadi Batara Wajo III. Di zaman Batara Wajo III, sang Raja melakukan banyak kesewenang-wenangan. Hingga setelah berbagai masukan dari rakyat Wajo, I La Tiringeng to Taba memperingati Batara Wajo III. Namun sampai berkali-kali diperingati, La Pateddungi selalu mengulang kesalahannya. Akhirnya, ia diturunkan dari takhtanya dan dibunuh di sebuah tempat luar Wajo saat itu yang disebut sebagai La Marakko.

(Reruntuhan pohon Asam Lapaddeppa.Dibawah pohon inilah dahulu diadakan perjanjian Allamumpatue ri Lapaddeppa)


Kekosongan pemerintahan pasca kematian La Pateddungi membuat rakyat dan adat Wajo melakukan perubahan pada sistem pemerintahannya. Akhirnya diadakan perjanjian (allamumpatuE ri Lapaddeppa) yang berisi hak-hak konstitusional kemerdekaan orang Wajo. Selanjutnya, La Palewo to Palippu terpilih menjadi Arung Matowa. Adapun gelar Batara Wajo tidak digunakan lagi.(arm)

1 komentar:

Awal Mula Suku Bugis

Awal Mula Suku Bugis
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan.
Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Perkembangan
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar.
Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)

1 komentar:

Mata Pencaharian Suku Bugis

Mata Pencaharian
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

Bugis Perantauan
Kepiawaian suku Bugis-Makasar dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka.

Penyebab Merantau
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.

Bugis di Kalimantan Selatan
Pada abad ke-17 datanglah seorang pemimpin suku Bugis menghadap raja Banjar yang berkedudukan di Kayu Tangi (Martapura) untuk diijinkan mendirikan pemukiman di Pagatan, Tanah Bumbu. Raja Banjar memberikan gelar Kapitan Laut Pulo kepadanya yang kemudian menjadi raja Pagatan. Kini sebagian besar suku Bugis tinggal di daerah pesisir timur Kalimantan Selatan yaitu Tanah Bumbu dan Kota Baru.

Bugis di Sumatera dan Semenanjung Malaysia
Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan Gowa bersama orang Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disini mereka turut terlibat dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor yang merupakan keturunan Bugis.

0 komentar:

Masa Kerajaan Suku Bugis


1. Kerajaan Bone
Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue.

2. Kerajaan Makassar
Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar kemudian terpecah menjadi Gowa dan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar.

3. Kerajaan Soppeng
Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng.

4. Kerajaan Wajo
Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabi. Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo.

Konflik antar Kerajaan
Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan. Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru.
Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut “tellumpoccoe”

0 komentar:

Wala Suji - Falsafah masyarakat Bugis


Istilah Wala Suji tidak asing lagi bagi Bangsa Bugis. Jika Anda pernah mengunjungi acara adat atau perkawinan Kerabat Bangsa Bugis, tentu Anda akan melihat suatu Baruga (gerbang) yang dikenal dengan nama Wala Suji di depan pintu rumah mempelai atau yang melaksanakan hajatan. Wala Suji ini terbuat dari anyaman bambu. Mengapa Wala Suji harus menggunakan pohon bambu, karena pohon bambu dipercaya memiliki makna filosofi.
Pohon bambu adalah sejenis tumbuhan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Ada satu sisi dari pohon bambu dapat dijadikan bahan pembelajaran bermakna, yakni pada saat proses pertumbuhannya. Pohon bambu ketika awal pertumbuhannya atau sebelum memunculkan tunas dan daunnya terlebih dahulu menyempurnakan struktur akarnya. Akar yang menunjang ke dasar bumi membuat bambu menjadi sebatang pohon yang sangat kuat, lentur, dan tidak patah sekalipun ditiup angin kencang.
Metafora tersebut mengajarkan kepada manusia agar tumbuh, berkembang dan mencapai kesempurnaan bergerak dari dalam ke luar, bukan sebaliknya. Lebih jauh memahami filosofi pohon bambu tersebut, bahwa menjadi apa sesungguhnya kita ini sangat tergantung pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan kita tentang “Keimanan kepada Allah SWT” yang terdapat dalam hati (qalbu) kita masing-masing.
Wala Suji ini merupakan cikal bakal tulisan lontara. Karena pada masa-masa itu belum ada yang namanya pulpen, pensil dan sejenis alat tulis lainnya. Huruf lontara ini pada awalnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar.
Wala suji berasal dari kata wala yang artinya pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah.
Sebenarnya konsep segi empat pada Wala Suji ini, berpangkal pada kebudayaan orang Bugis-Makassar yang memandang alam raya sebagai sulapa' eppa wala suji (segi empat belah ketupat). Menurut almarhum Prof DR Mattulada, budayawan Sulawesi Selatan yang juga guru besar Universitas Hasanuddin, Makassar, konsep tersebut ditempatkan secara horizontal dengan dunia tengah. Dengan pandangan ini, masyarakat Bugis-Makassar memandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan

Kesempurnaan yang dimaksud meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu timur, barat, utara, dan selatan. Secara makro, alam semesta adalah satu kesatuan yang tertuang dalam sebuah simbol aksara Bugis-Makassar, yaitu ‘sa’ yang berarti seuwwa, artinya tunggal atau esa. Begitu pula secara mikro, manusia adalah sebuah kesatuan yang diwujudkan dalam sulapaq eppaq. Berawal dari mulut manusia segala sesuatu dinyatakan, bunyi ke kata, kata ke perbuatan, dan perbuatan mewujudkan jati diri manusia. Dengan demikian, Wala Suji dalam dunia ini, dipakai sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah kabara-niang (keberanian), akkarungeng (kebangsawanan), asugireng (kekayaan), dan akkessi-ngeng (ketampanan/kecantikan)

0 komentar:

Mattojang tradisi permainan Masyarakat Bugis


Pada awalnya, Mattojang bagi masyarakat tradisional Bugis merupakan bagian dari rangkaian upacara adat Sao Raja yakni pencucian benda-benda pusaka peninggalan Arung Kulo.  Namun seiring berkembangnya  zaman, Mattojang tidak lagi diselenggarakan ketika upacara Sao Raja dilangsungkan, melainkan permainan adat rakyat Bugis ini juga dilaksanakan untuk memeriahkan pesta-pesta adat tertentu seperti perayaan pesta Panen, perayaan Pernikahan atau menyambut kelahiran seorang bayi.
Selain sebagai sebuah permainan, Mattojang juga merupakan rangkaian dari proses penyembuhan. Bagi masyarakat bugis, seseorang yang telah melupakan leluhur mereka atau ritual-ritual kebudayaan tertentu maka ia akan terkena penyakit-penyakit yang aneh. Bisa jadi berujung pada kegilaan. Jika sekiranya hal itu terjadi maka orang tersebut terlebih dahulu harus menjalani proses ritual. Dimulai dari pengobatan oleh Sanro’ atau dukun, pelaksanaan upacara adat, dan syukuran. Setelah semua proses ini berlangsung barulah orang yang sakit tersebut di Tojang. Tujuan dari mattojang ini adalah untuk membuang penyakit yang bersarang di tubuh si penderita. Dengan mengayun-ayunkan tubuh di udara diharapkan penyakit tersebut terbang keluar dan tidak lagi kembali.   
Dalam tatanan linguistik Bugis, Mattojang berasal dari kata Tojang yang berarti  ayunan. Dalam istilah Bugis yang lain disebut Mappare. Mappare berasal dari kata Pare yang artinya sama dengan Tojang yakni ayunan. Secara kutural dalam masyarakat Bugis istilah Mattojang diartikan sebagai permainan berayun atau berayun-ayun.
Lahirnya permainan adat Mattojang tidak terlepas dari sebuah mitos yang sangat kuat diyakini oleh masyarakat Bugis hingga saat ini bahwa Mattojang merupakan proses turunnya manusia pertama yaitu Batara Guru dari Botting Langi’ (Turunnya Batara’ Guru dari Negeri Khayangan ke Bumi). Batara’ Guru dalam mitos kebudayaan Bugis adalah nenek dari Sawerigading. Sawerigading sendiri merupakan ayah dari La Galigo, Tokoh mitologi Bugis yang melahirkan mahakarya monumental termasyur di dunia yakni  kitab La Galigo.
Menurut pada kepercayaan masyarakat Bugis, prosesi turunnya Batara Guru dari negeri Khayangan yakni  dengan menggunakan Tojang Pulaweng yang berarti ayunan emas.  Mitos ini pun kemudian berkembang dan menjadi bagian dari prosesi adat. Sebagai salah satu cara untuk menjaga kelestarian kepercayaan ini maka dibuatlah permainan adat Mattojang yang kemudian berkembang menjadi permainan rakyat.   
Untuk melakukan permainan Mattojang atau berayun, dibutuhkan empat batang bambu besar (bambu betung) yang tingginya kira-kira 10 meter. Setiap dua batang bambu dipasang menyilang dengan mempertemukan kedua ujung bagian atasya. kemudian sebuah bambu yang panjangnya sekitar enam meter  dipasang melintang diatas bambu  yang berdiri sebagai tempat penyanggah tali ayunan. Untuk pembuatan tiang ayunan ini, bisa juga dengan menggunakan batang pinang yang telah dipotong dengan ukuran sama. Kemudian untuk tali ayunan digunakan kulit kerbau yang telah dikeringkan dan dianyam membentuk tali.  Namun saat ini pemakaian tali ayunan sudah banyak yang menggunakan rantai besi.
Setelah tiang penyangga dan tali ayunan selesai, langkah selanjutnya adalah membuat Tudangeng atau dudukan. Tudangeng dibuat dari papan sebagai tempat duduk orang yang akan diayun. Selanjutnya dipasang Peppa yakni sebuah tali yang berfungsi sebagai alat penarik. Ketika acara Mattojang dilangsungkan, seseorang yang ingin naik ke atas tudangeng terlebih dahulu harus mengenakan baju bodo. Setelah itu barulah ia bisa di tojang.  para penonton yang hadir di tempat penyelenggaraan acara juga dapat  naik ke atas Tudangeng secara bergiliran untuk diayun. Peppa ditarik oleh dua orang laki-laki atau perempuan untuk mengayunkan orang yang duduk diatas Tudangeng.
Mattojang secara filosofis dalam kepercayaan masyarakat Bugis bermakna penenangan jiwa. Orang yang melakukan Mattojang akan tenang jiwanya seperti bayi yang tertidur diatas ayunan. Ia akan merasa seperti tanpa beban melayang –layang di udara.    

0 komentar:

kesenian masyarakt suku bugis


Alat musik


Kacapi ( kecapi)
Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil karena penemuannya dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
Sinrili
sinrili
sinrili
alat musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola di mainkan dengan membaringkan di pundak sedang singrili di mainkan dalam keedaan pemain duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.
Gendang

Pa' Gendang
Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar seperti rebana.
Suling
seruling
seruling
Suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
• Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
• Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi
• Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau acara penjemputan tamu.
Seni Tari
• Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
• Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan    bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan.
• Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang menenun benang menjadi             kain. Melambangkan kesabaran dan ketekunan perempuan-perempuan Bugis.
• Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabai (waria), namun jenis tarian ini sulit sekali                        ditemukan bahkan dikategorikan telah punah.
• Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa’, tari Pa’galung, dan tari Pabbatte (biasanya di gelar padasaat      Pesta Panen).

0 komentar:

KISAH SUKU BUGIS

Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).

Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.

Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.

Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Adat Istiadat

Salah satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang. Kabupaten Sidenreng Rappang disingkat dengan nama Sidrap adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah ini adalah suku Bugis yang ta’at beribadah dan memegang teguh tradisi saling menghormati dan tolong menolong. Dimana-mana dapat dengan mudah ditemui bangunan masjid yang besar dan permanen. Namun terdapat daerah dimana masih ada kepercayaan berhala yang biasa disebut ‘Tau Lautang’ yang berarti ‘Orang Selatan’. 

Adat Pernikahan 

Dalam sistem perkawinan adat Bugis terdapat perkawinan ideal:
1. Assialang Maola
    Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah 
    maupun ibu.

2. Assialanna Memang
    Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah 
    maupun ibu.

3. Ripaddeppe’ Abelae
    Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah 
    maupun ibu atau masih mempunyai hubungan keluarga. 

Adapun perkawinan – perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (salimara’):
1. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah
2. perkawinan antara saudara sekandung
3. perkawinan antara menantu dan mertua
4. perkawinan antara paman / bibi dengan kemenakan
5.  perkawinan antara kakek / nenek dengan cucu

Tahap – tahap dalam perkawinan secara adat :
1. Lettu ( lamaran)
    Ialah kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk 
    menyampaikan keinginannya untu melamar calon mempelai perempuan.

2. Mappettuada. (kesepakatan pernikahan)
    Ialah kunjungan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan
    waktu pernikahan,jenis sunrang atau mas kawin,balanja atau belanja 
    perkawinan penyelanggaran pesta dan sebagainya

3. Madduppa (Mengundang)
    Ialah kegiatan yang dilakukan setelah tercapainya kesepakayan antar kedua bilah 
    pihak untuk memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang
    akan dilaksanakan.

4. Mappaccing (Pembersihan)
    Ialah ritual yang dilakukan masyarakat bugis (Biasanya hanya dilakukan oleh kaum 
    bangsawan), Ritrual ini dilakukan pada malam sebelum akad nikah di mulai, 
    dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang dihormati 
    untuk melaksanakan ritual ini, cara pelaksanaan nya dengan menggunakan daun 
    pacci (daun pacar),kemudian para undangan di persilahkan untuk memberi berkah 
    dan doa restu kepada calon mempelai, konon bertujuan untuk membersihkan dosa 
    calon mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman kepada kedua orang tua calon mempelai.

Pasangan Pengantin


Hari pernikahan dimulai dengan mappaendre balanja , ialah prosesi dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabat, pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita, dan mas-kawin ke rumah mempelai wanita. Sampai di rumah mempelai wanita langsung diadakan upacara pernikahan,dilanjutkan dengan akad nikah. Pada pesta itu biasa para tamu memberikan kado tau paksolo’. setelah akad nikah dan pesta pernikahan di rumah mempelai wanita selesai dilalanjutkan dengan acara “mapparola” yaitu mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki.

mappaenre botting :
Beberapa hari setelah pernikahan para pengantin baru mendatangi keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai wanita untuk bersilaturahmi dengan memberikan sesuatu yang biasanya sarung sebagai simbol perkenalan terhadap keluarga baru. Setelah itu, baru kedua mempelai menempati rumah mereka sendiri yang disebut nalaoanni alena.

Kepercayaan

Orang-orang ini dalam seharinya menyembah berhala di dalam gua atau gunung atau pohon keramat. Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka, agama yang tercantum adalah agama Hindu. Mereka mengaku shalat 5 waktu, berpuasa, dan berzakat. Walaupun pada kenyataannya mereka masih menganut animisme di daerah mereka. Saat ini, penganut kepercayaan ini banyak berdomisili di daerah Amparita, salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.

Hukum Adat

Di Sidrap pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang (Addatuang = semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama Nenek Mallomo’. Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng yaitu: Naiya Ade’e De’nakkeambo, de’to nakkeana. (Terjemahan : sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak). Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo’ Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan. 

Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhiketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nenek Mallomo yang mencuri peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara’ La Toa, Nenek Mallomo’ disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo, Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo, dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo’ dalam menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para Pallontara’ (ahli mengenai buku Lontara’) dan tokoh-tokoh masyarakat adat. Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu’mang sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya.

Mata Pencaharian 

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

Adat Panen

Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare atau appabenni ase sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi balla, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong palo karallae, salah satu epos Lagaligo tentang padi. 

Dan ketika panen tiba digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko dan Mappadendang konon memang berawal dari aktifitas ini.

Bagi komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari. Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.

Bahasa Suku Bugis

Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros, sebahagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang, sebahagian kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai tulisan huruf Bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.

 
Aksara Bugis


Kesenian

Alat musik:

1.Kacapi(kecapi) 
   Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, 
   Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau 
   diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang  
   memiliki dua dawai,diambil karena penemuannya dari tali layar perahu. 
   Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, 
   bahkan hiburan pada hari ulang tahun.

2. Sinrili
    Alat musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola di mainkan dengan 
    membaringkan di pundak sedang singrili di mainkan dalam keedaan pemain 
    duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.

3. Gendang
    Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar
    seperti rebana.

4. Suling
   Suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
• Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
• Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan 
   dimainkan bersama penyanyi
• Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah
   Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau
   acara penjemputan tamu.

Seni Tari

• Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
• Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika 
   kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran 
   dan kehormatan
• Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang 
   sedang menenun benang menjadi kain. Melambangkan kesabaran dan ketekunan 
   perempuan-perempuan Bugis.
• Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabai (waria), 
   namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan dikategorikan telah punah.
• Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa ,tari Pa’galung, dan tari
   Pabbatte(biasanya di gelar padasaat Pesta Panen).

Makanan Khas Sulawesi Selatan

1. COTO MAKASSAR
2. KONRO
3. SOP SAUDARA
4. PISANG EPE’
5. PISANG IJO
6. PALU BASSAH
7. PALA BUTUNG
8. NASU PALEKKO (Bebek)

Permainan

Beberapa permainan khas yang sering dijumpai di masyarakat Bugis ( Pinrang): Mallogo, Mappadendang, Ma’gasing, Mattoajang (ayunan), getong-getong, Marraga, Mappasajang (layang-layang), Malonggak

Senjata Suku Bugis

 KAWALI senjata khas suku bugis.....!

0 komentar:

Template by Clairvo Yance
Copyright © 2013 sang sejarawan and Blogger Themes.