songkok khas bugis


Songkok Recca’ terbuat dari serat pelepah daun lontar dengan cara dipukul-pukul (dalam bahasa Bugis : direcca-recca) pelepah daun lontar tersebut hingga yang tersisa hanya seratnya. Serat ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan. Untuk mengubah menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari. Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi hitam. Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar,
sehingga untuk membuat songkok recca’ yang halus maka serat haluslah yang diambil dan sebaliknya serat yang kasar mengh asilkan hasil yang agak kasar pula tergantung pesanan.

Untuk menganyam serat menjadi songkok menggunakan acuan yang disebut Assareng (lihat Foto sebelah Kanan) yang terbuat dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok. Acuan atau assareng itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.

Sejak Kapan Munculnya Songkok Recca’ (Songkok To Bone)?

Songkok recca’ (songkok to Bone) menurut sejarah, muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tator tahun 1683. Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan songkok recca’ sebagai tanda untuk membedakan dengan pasukan Tator.

Pada zaman pemerintahan Andi Mappanyukki (raja Bone ke-31), songkok recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata sipemakainya. Akan tetapi lambat laun hingga sekarang ini siapapun berhak memakainya. Bahkan beberapa kabupaten di Sulawesi memproduksinya sehingga dapat dikatakan, bahwa songkok recca yang biasa juga disebut sebagai Songkok To Bone yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa orang Bone tersebut mendapat apresiasi baik dari masyarakat Sulawesi maupun Indonesia pada umumnya.

Di Kabupaten Bone Songkok Recca/Songkok To Bone diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut terdapat  komunitas masyarakat secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil proses mengayam pelepah daun lontar ini yang disibut Songkok Recca atau Songkok To Bone.
 
Kelurahan MattirowaliE Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone sebagian masyarakatnya mendapatkan nafkah dalam kegiatan pembuatan Songkok To Bone ini seperti pada foto di bawah ini :





0 komentar:

SEKILAS PROSESI “MASSOSSORO ARAJANG”

SEKILAS PROSESI “MASSOSSORO ARAJANG”
BENDA-BENDA PUSAKA KERAJAAN BONE
Upacara adat yang sakaral yaitu upacara mensucikan benda-benda pusaka Kerajaan Bone yang disebut Mappepaccing Arajang atau dalam istilah Pangedereng Rilangiri dan secara khusus disebut Massosoro Arajang (Mattompang). Yang dimaksud dengan Arajang adalah benda atau sekumpulan benda yang sacral karena memiliki nilai magis dan pernah dipergunakan oleh raja atau pembesar Kerajaan. Benda-benda tersebut disimpan secara khusus dan sangat dihormati.
Pada zaman dahulu Mappepaccing Arajang dilaksanakan oleh para Bissu atas restu raja atau Mangkau di dalam ruangan tempat penyimpanan Arajang benda-benda pusaka Kerajaan Bone. Adapun prosesi Mappepaccing Arajang akan dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut :
a.   Mallekke Toja (memindahkan atau mengambil air)
Prosesi ini dilaksanakn beberapa hari sebelum kegiatan Massossoro Arajang (Mattompang) dilakukan. Kegiatan ini dilakukan di beberapa tempat yaitu : di Bubung Parani, Bubung Bissu, keduanya di wilayah Kecamatan Barebbo dan Bubung Laccokkong yang berada dikelurahan Watampone Kecamatan Tanete Riattang. Air atau Toja ini dimaksudkan untuk membersihkan benda pusaka atau Arajang.
b.   Mappaota
H. Andi Baso Hamid Ahmad selaku pemangku adapt mempersembahkan daun sirih yang diletakkan dalam sebuah cawan kepada Bapak Bupati Bone sebagai laopran bahwa upacara adat akan segera dimulai. Selanjutnya diiringi oleh para Bissu ke tempat Arajang.
c.   Penjemputan Bebda-benda Pusaka dari tempat Arajang
Puang Matoa mempersrmbahkan sekapur sirih (Ota) di depan Arajang sebagai ungkapan penghormatan kepada hal-hal gaib sembari memohon izin untuk membersihkan Arajang. Proses ini diawali gengan iringan seperangkat bunyi-bunyian dari tempatnya dan diiringi dengan tarian yang disebut “Sere Alusu” oleh para Bissu. Secara religius para Bissulah yang menggerakkan dan memindahkan Arajang atas persetujuan Raja, karena mereka dianggap mengetahui serta mampu berhubungan dengan gaib yang menyertai Arajang tersebut. Kemudian Arajang diserahkan kepada tokoh adapt, kemudian dibawa ke hadapan Bapak Bupati untuk dikeluarkan dari sarungnya dan diletakkan kembali tanpa sarung.
d.  Mattompang
Tokoh adat membawa Arajang kepada Pattompang untuk disucikan atau ditompang yang diiringi dengan Genrang Bali Sumange sampai proses Mattompang selesai.
Adapun Benda-benda Pusaka Kerajaan Bone yang disucikan yaitu :
Ø Sembangeng Pulaweng atau Selempang Emas
Terbuat dari emas murni yang terdiri 63 potongan yang panjangnya 1,77 meter. Pada kedua ujungnya terganyung dua buah medali emas bertuliskan Bahasa Belanda sebagai tanda penghargaan Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Arung Palakka Raja Bone ke-15
Ø La Tea Ri Duni
Sebuah kalewang yang disebut Alameng. Sarung serta hulunya dilapisi emas dan dihiasi intan permata.
Ø La Makkawa
Sebuah kris yang disebut Tappi Tata Rapeng yang seluruh sarung dan hulunya dilapisi emas.
Ø La Salaga
Sebuah tombak yang pada pegangan dekat pada mata tombak dihiasi emas. Tombak ini merupakan simbol kehadiran Raja.
Ø Alameng Tata Rapeng
Sejenig Kalewang yang hulu serta sarungnya berlapis emas dan merupakan kelengkapan pakaian kebesaran Ade’ Pitu.
Setelah dibersihkan Arajang diperhadapkan kembali kepada Bapak Bupati Bone untuk disarungkan. Kemudian Tokoh Adat dan Para Bissu menuju ke tempat Arajang untuk menyimpan Benda-benda Pusaka tersebut ke tempat semula.
Demikian tahapan prosesi adat “Massosoro Arajang” (Mensucikan Arajang). Semoga Allah S.W.T. memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, sehingga pada tahun yang akan datang kita dapat berkumpul kembali di tempat ini untuk melaksanakan upacara adat yang serupa, Insya Allah.

0 komentar:

Petuah Raja Wajo

Amanat Arung Matowa Wajo La Mungkace’ To Uddama
Kabupaten Wajo adalah salah satu kabupaten dalam lingkup wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Di sekitar tahun 1450 di daerah ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Wajo sebagai kelanjutan dari Dinasti Cinnatobi, rajanya disebut Arung Matowa Wajo dan rakyatnya disebut To Wajo.
Di akhir pertengahan kedua Abad ke XVI sampai awal pertengahan pertama Abad XVII, Kerajaan Wajo dipimpin oleh seorang raja yang dikenal amat bijaksana dan meninggalkan banyak pesan sebagaimana tercatat dalam Lontaraq. Arung Matowa Wajo yang penulis maksud adalah Matinroe ri Kannana, yang pernah ‘diselamatkan’ oleh Dr. B. F. Matthes dalam “Makassar Chrestomathie” yang terbit dan dicetak di Amsterdam, tahun 1860.
Nama sebenarnya La Mungkace To Uddamang, adalah Arung Matowa Wajo XI. Di masa kekuasaannya, turut terlibat dalam pembentukan ‘triple alliance’ antara Bone Soppeng dan Wajo, suatu persekutuan tiga kerajaan bugis dalam mengantisipasi serangan militer Kerajaan Gowa. Persekutuan Bone, Soppeng dan Wajo tersebut lebih masyhur dengan sebutan “Tellumpocoe” atau biasa juga disebut “Lamumpatue ri Timurung”. Setelah wafat, beliau mendapat gelar anumerta, “Matinroe ri Kannana”, yang artinya yang wafat bersama dengan perisainya.
Pesan Arung Matowa Wajo La Mungkace’ To Uddama tersebut adalah sebagai berikut :
“Nakana Arung Matowa nikanaya Matinroa ri Kannana, Pappasanna ri ana’na : Iapa antu Patuppu batu makaappakabaji’ bu’ta, amballakiai nawa – nawa appaka. Se’remi, malambusuka ; naia nikanaya malambusu’, nikasalaia namammopporo’. Makaruana, mangngasenga, iapa nikana mangngaseng, ancinikai bokona, Makatalluna, barania. Iapa nikana barani, tata’bangkaya nawa – nawana nabattui kana – kana makodi, kana – kana mabaji’. Makaappa’na, malammoroka ; iapa nikana malammoro’, mapainunga riallo ribangngi”.
“Berkata Arung Matowa, yang bernama Matinroa ri Kannana, amanatnya kepada anaknya, “Seseorang baru dapat dinamai ‘patuppu batu’, jika dapat memperbaiki tanah (Negara), sekiranya ia memiliki keempat pikiran ini. Pertama, lurus hati. Adapun yang dikatakan lurus hati yaitu  kalau orang bersalah  kepadanya dan diampuninya. Kedua, Berpengetahuan, yaitu yang melihat (memperhatikan) belakangnya (akibat perbuatannya). Ketiga, Berani, yaitu sekiranya tidak terkejut hatinya didatangi (mendengar) kata – kata buruk dan kata – kata baik. Keempat, Pemurah , yaitu sekiranya memberi minum siang dan malam”.
“Kaiapa nikana patuppu batu, tatintoa matanna riallo ribangi a’nawanawai. Napunna uru appanaung taua bine, a’barataki sampulu bangngi. Makaruanna, punna uruma’rappo asenta a’barataki salapang bangngi. Iapa antu patuppu batu, taenaya makodi bonena balla’na.”
“Seorang dapat dinamai “pattuppu batu”, sekiranya ia tak tidur matanya siang dan malam memikirkan rakyatnya dan kalau orang mulai menurunkan tanaman padi (mulai bertanam padi), ia berkabung sepuluh hari ; yang kedua kalau padi kita mulai berbuah kita berkabunglah Sembilan malam. Seorang dinamai pattuppu batu, sekiranya seisi rumahnya tak ada yang jahat”.
“Naia antu nawa – nawaya patambuangngangi arena. Uru – uruna, nawa – nawa pepe’ arena. Makaruanna nawa – nawa dje’ne arena. Makatallunna, nawa – nawa anging arena. Makappa’na, nawa – nawa butta arena. Naia nawa – nawa pepeka, lompoi gau’na, natanacinika bokona, teai nusauru’ risangkammanna, iamami angkana kalengna annaba gau’na, annaba tangara’na, la’bu nawa – nawanna, barani. Naia nawa – nawa je’neka, angngassengi, natamalambusa. Naia antu nawa – nawa anginga a’gau magassingi natania lambusu’ nakimbolong. Naia antu nawa – nawa buttaya, lambusuki namangngaseng.”
“Adapun pikiran itu ada empat jenisnya. Pertama, pikiran api namanya ; kedua, pikiran air namanya ; ketiga, pikiran angin namanya, keempat, pikiran tanah namanya. Adapun pikiran api itu, besar perbuatan kelakuannya akan tetapi tak diperhatikan akan akibat – akibatnya ; ia tak sudi dialahkan oleh sesamanya ; hanya dialah menurut pendapatnya, yang benar perbuatan dan kelakuannya, yang benar pikirannya, yang panjang akalnya dan yang berani. Adapun pikiran air itu, berpengetahuan, akan tetapi tak lurus hati. Adapun pikiran angin itu, berbuat dengan kekerasan (dengan sekehendak hati), akan tetapi tidak dengan maksud lurus (baik). Adapun pikiran tanah itu lurus hati dan berpengetahuan.”
“Talomo – lomo sikaliai antu bicaraya nikabangngoi. Napunna nia’ nisala bicaraya, tappu’ korro’-korroki tuma’bicaraya ; mapanraki buttaya ; tattompangi assunna, nipasai pa’dinginnna, nipasoloro’ alunna, natimboi ruku’ – ruku’ pallunna ; puttai tawa ; akanrei pepe’ pa’rasanganga ; tammanakkai tawa ; mammongi tedonga ; tapoleni tinananga, lelasaki rappo rappo kayu nilamunga”.
“Adapun ‘Bicara’ (Peraturan) itu tak boleh sekali – kali orang bodoh terhadapnya, artinya tidak memahaminya. Kalau peraturan itu salah dijalankan, orang yang menjalankannya itu harus putus kerongkongannya (disembelih sampai mati), negeri akan rusaK, lesungnya tertelungkup, nyirunya tergantung, alunya tersimpan (menandakan bahwa tak ada yang akan ditumbuk, karena padi tak tumbuh dan tak berbuah). Dapurnya ditumbuhi rumput – rumputan (menandakan bahwa orang tak pernah lagi memasak pada dapur tersebut, karena tak ada lagi yang dapat dimasak). Manusia akan punah ; negeri akan dimakan (dimusnahkan) oleh api ; orang – orang (penduduk) tak akan beranak ; kerbau menjadi mandul (tak dapat berkembang biak) ; tanaman tidak menjadi pohon ; pohon – pohon yang ditanam gugur buahnya (berarti tak dapat mendatangkan hasil).”
“Napunna nitaba tappu’na bicaraya, anjari tinananga, lab’bu umuru’na tuma’bicaraya ; anjari tau jaia, kalumannyangi tu-mapa’rasanganga ; napunna anjari asea tuju taunna, rassi irawa irate karaeng ma’gauka ; napunna ta’bangkang anjari asea a’lonjo – lonjo sampulo taunna, rassi iratei – irawa tuappa’rasanganga ; napunna appaenten bundu’ tumalompoa, longgangi nileo talluntaung. ”
“Dan kalau kita “mengena putusan peraturan” (menjalankan peraturan sebagaimana mestinya), maka tanaman akan menjadi, orang yang menjalankan pemerintahan akan panjang umurnya ; orang banyak (rakyat) akan bertambah banyak ; penduduk akan menjadi kaya. Dan kalau padi menjadi dalam masa tujuh tahun, maka raja yang bertakhta itu akan penuh dibawah dan diatas (akan beroleh penuh kesejahteraan dan keselamatan). Dan kalau tiba – tiba padi menjadi baik dalam masa sepuluh tahun berturut – turut, maka rakyat akan menemui kesejahteraan dan keselamatan yang sepenuhnya. Dan sekiranya pembesar – pembesar mengadakan perang, dapat leluasa dikepung tiga tahun (artinya walaupun negerinya dikepung tiga tahun lamanya, dapat juga mereka hidup dengan leluasa, tidak mengalami kesukaran apa – apa).”

Pintu gerbang Kabupaten Wajo di malam hari. Disana tertulis falsafah To Wajo. (foto : google)
Demikianlah beberapa perkataan dari Matinroe ri Kannana, sebagai wasiat / warisan kepada generasinya, tentunya banyak hal yang bisa kita petik dalam perkataan Raja Wajo ini, paling tidak gambaran kebijaksanaannya yang mewarnai semangat zamannya dan dalam menjalankan roda pemerintahan era Kerajaan Bugis masih berlangsung. Pesan Raja Wajo ini kembali saya angkat sebagai penegasan bahwa di zaman kerajaan Wajo masa lampau pun telah diajarkan dengan sangat baik prinsip – prinsip kepemimpinan, demokratisasi dan penegakan hukum, supaya menjadi pelajaran bagi generasi sekarang.(*)

0 komentar:

aru bugis/ sumpah setia rakyat bone pada rajanya

ini mungkin mirip dengan aru tubarania ri Gowa, tetapi dalam bahasa bugis dan di gunakan oleh orang bone saat mengangkat raja mereka:
 
“ANGIKKO   KIRAUKKAJU, RIYAKOMMIRI,   RIAKKENG MUTAPPALIRENG, ELO’MU  ELO  RIKKENG ADAMMUKUA,  MATTAMPAKO  KILAO, MMOLLIKO KISAWE, MELLAUKO KIABBERE,  MAUNI ANAMMENG NAPATTAROMMENG REKKUA  MUTEYAIWI KITEYATOI,  NAEKIYA DONGIRIKKENG TEMMATIPPANG,  AMPIRIKKENG TEMMAKARE  MUSALIPURIKKENG TEMMADINGING”
Terjemahan bebas :
          “ENGKAU ANGIN DAN KAMI DEDAUNAN, KEMANA BERHEMBUS KESITU KAMI MENURUT, KEMAUAN DAN KATA-KATAMULAH YANG JADI DAN BERLAKU ATAS KAMI. APABILA ENGKAU MENGUNDANG, KAMI DATANG, APABILA ENGKAU MEMANGGIL, KAMI MENYAMBUT, DAN APABILA ENGKAU MEMINTA KAMI MEMBERI WALAUPUN ANAK ISTERI  KAMI JIKA TUANKU TIDAK SENANGI, KAMI PUN TIDAK MENYENANGINYA. TETAPI ENGKAU MENJAGA KAMI AGAR AMAN TENTRAM, ENGKAU MELINDUNGI KAMI AGAR MAKMUR SEJAHTERA, ENGKAU SELIMUTI KAMI AGAR TIDAK KEDINGINAN.

0 komentar:

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN BONE



                   Kerajaan Bone terbentuk pada awal abad ke XIV atau pada tahun 1330, namun sebelum Kerajaan Bone terbentuk, sudah ada kelompok-kelompok dan pemimpinnya digelar Matoa.
                   Dengan datangnya TO MANURUNG Mata Silompo’E, maka terjadilah penggabungan kelompok-kelompok tersebut, termasuk Cina, Barebbo, Awangpone dan Palakka. Pada saat pengangkatan TO MANURUNG Mata Silompo’E, menjadi Raja Bone, Rakyat Bone bersumpah sebagai pertanda kesetiaan Rakyat kepada Raja, sekaligus sebagai pencerminan sifat Pemerintahan Kerajaan diawal berdirinya.
                   Sumpah yang diucapkan Oleh Penguasa Cina mewakili rakyat berbunyi :
“ANGIKKO   KIRAUKKAJU, RIYAKOMMIRI,   RIAKKENG MUTAPPALIRENG, ELO’MU  ELO  RIKKENG ADAMMUKUA,  MATTAMPAKO  KILAO, MMOLLIKO KISAWE, MELLAUKO KIABBERE,  MAUNI ANAMMENG NAPATTAROMMENG REKKUA  MUTEYAIWI KITEYATOI,  NAEKIYA DONGIRIKKENG TEMMATIPPANG,  AMPIRIKKENG TEMMAKARE  MUSALIPURIKKENG TEMMADINGING”
Terjemahan bebas :
          “ENGKAU ANGIN DAN KAMI DEDAUNAN, KEMANA BERHEMBUS KESITU KAMI MENURUT, KEMAUAN DAN KATA-KATAMULAH YANG JADI DAN BERLAKU ATAS KAMI. APABILA ENGKAU MENGUNDANG, KAMI DATANG, APABILA ENGKAU MEMANGGIL, KAMI MENYAMBUT, DAN APABILA ENGKAU MEMINTA KAMI MEMBERI WALAUPUN ANAK ISTERI  KAMI JIKA TUANKU TIDAK SENANGI, KAMI PUN TIDAK MENYENANGINYA. TETAPI ENGKAU MENJAGA KAMI AGAR AMAN TENTRAM, ENGKAU MELINDUNGI KAMI AGAR MAKMUR SEJAHTERA, ENGKAU SELIMUTI KAMI AGAR TIDAK KEDINGINAN.
                             Demikianlah perjanjian penyerahan kekuasaan dan kepercayaan rakyat dengan suka rela kepada Rajanya. Disamping menyerahkan diri kepada Raja, juga terpatri pengharapan yang menjadi kewajiban Raja melaksanakan, yakni kewajiban mendatangkan keamanan dan terjaminnya keadilan serta kesejahteraan rakyat.
                   Sistem Pemerintahan Kerajaan Bone, senantiasa berdasarkan musyawarah mufakat. Hal ini dibuktikan dengan jelas kedudukan ketujuh Ketua Kaum (Matoa Anang) dalam satu majelis, dimana TO MANURUNG sebagai ketuanya, dan ketujuh Kaum itu diikat oleh suatu ikatan yang disebut Kawerang (Ikatan Persekutuan Tanah Bone) serta hal yang mengatur sistem Pemerintahan Kerajaan.
                   Sistem Kawerang ini berlangsung dari Raja Bone ke-I hingga Raja Bone ke IX Lapattawe Matinro’E Ri Bettung pada akhir abad ke-XVI.
                   Tahun 1605 dimasa Pemerintahan Raja Bone keX we Tenritappu Matinro’E Ri Sidenreng, Agama Islam mulai masuk di Kerajaan Bone, dan masa itu pulalah sebutan Matowa Pitu dirubah menjadi Hadat Tujuh (Ade Pitu) masing-masing; Tibojong, Ta, Tanete Riattang, Tanete Riawang Macege, Ponceng dan Ujung.
                   Latenri Ruwa Raja Bone ke- XI secara resmi menerima Agama Islam masuk di Kerajaan Bone, dan sejak itulah Agama Islam berkembang dengan pesat dan terkenal bahwa rakyat Bone penganut Agama Islam yang fanatik.
                   Demikian pula terhadap Raja Bone ke- XII, dan sejak itulah La Tenripale Matinro’E di Tallo dan Raja Bone ke-XIII La Maddaremmeng Matinro’E Ri Bukaka merupakan sosok Raja yang terkenal fanatik dalam ajaran Agama Islam.
                   Raja Bone ke-XV La Tenritatta Daeng Serang Malampe’E Gemmenna Arung Palakka dikenal sebagai Raja yang berprikemanusiaan. Berusaha meningkatkan harkat dan martabat Kerajaan Bone, bebas dari tekanan dan penindasan dari kerajaan-kerajaan lainnya, mampu mengadakan pendekatan dan komunikasi timbal balik dengan kerajaan lain sehingga terkenal dengan sebutan Raja Bugis ( de Koning Der Bugis ).
                   Raja Bone Ke – XVI La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng dikenal sebagai sosok penyiar dan pengembang Syiar Islam. Di giatkan pula penulisan Kitab pelajaran Agama Islam. Di masa Pemerintahan beliau, pengaruhnya sangat besar, tidak hanya terhadap Raja – raja bawahannya, tetapi juga Raja – raja di tanah Bugis seperti Soppeng, Sidenreng, Luwu dan lain-lain.
                   Raja Bone Ke – XXIII La Tenri Tappu adalah sosok Raja yang gemar akan kesenian dan taat melaksanakan Syariat Islam. Baginda berhasil menyusun sebuah buku pelajaran Tasawuf, yang oleh baginda diberi judul ” NURUL HADI “ merupakan Tasawuf yang mengupas soal kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan mendapat pengakuan dari ahli tasawuf dari Mekkah pada masanya.
                   Raja Bone Ke – XXX Fatimah Banri merupakan pencetus ide, yakni  merubah model Baju ponco ( Baju Wanita ) yang berukuran sampai diatas lutut menjadi berukuran lebih menurun kebawah lutut sebagaimana yang dipergunakan sekarang, serta diusahakan pembinaan kesenian daerah seperti seni tari dan sebagainya.
                   Demikian pula pada masa pemerintahan Raja Bone Ke XXX tersebut dikenal cukup berhasil keadaan negeri aman tentram perekonomian maju dan lancar.
                   Raja Bone Ke – XXXI Lapawawoi Karaeng Sigeri adalah seorang Raja yang anti terhadap Belanda yang ingin  menguasai sumber ekonomi rakyat, yang menjadi sumber penghasilan Kerajaan Bone.
                   Beberapa kali utusan Belanda menemui Raja, akan tetapi selalu ditolak, sebab Baginda sudah mengetahui taktik licik Belanda, ingin menguasai sumber ekonomi rakyat, lalu lintas perdagangan di Pelabuhan Bajoe dan Palime, untuk memungut bea cukai dengan alas an akan membantu mengurusi dan mengaturnya secara seksama.
                   Maksud Belanda tidak berhasil, maka pecahlah perang yang dahsyat. Belanda dengan tiga battalion tentara pilihan dengan persenjataan lengkap termasuk meriam, melancarkan serangan di Pantai Bajoe, namun Laskar Bone dengan gagah perkasa melakukan perlawanan sekalipun dengan persenjataan yang tidak seimbang.
                   Di dalam pertemupuran beberapa hari lamanya itu, ribuan Laskar Bone dan pihak belanda jatuh korban, termasuk Panglima Perang ( Dulung ) Ajangale dan beberapa perwira tinggi lainnya.
                   Raja Bone bersama Panglima tertinggi angkatan perangnya Andi Abdul Hamid alias Baso Pagilingi Petta PongawaE mundur kepegunungan hingga di Bulu Awo bilangan Pitumpanua Wajo.
                   Pasukan Belanda dalam pengejaran hingga ditempat tersebut, terjadilah pertempuran yang maha dahsyat, yang mengakibatkan gugurnya Petta pongawaE bersama pasukannya dan di Makamkan kembali di Desa Matuju Kecamatan Awangpone.
                   Sedang Raja Bone Ke – XXXI Lapawawoi Karaeng Sigeri ditangkap dan dibawa ke Pare – Pare selanjutnya diasingkan Bandung dan Baginda mangkat di Bandung. Kemudian pada tahun 1974 kerangka jenasahnya dipindahkan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta dalam suatu upacara meliter dan upacara kebesaran adat.
                   Dengan jatuhnya Kerajaan Bone ketangan Belanda maka dikenal dalam sejarah RUMPA’NA BONE tahun 1905.
                   Setelah 26 tahun kemudian atau tahun 1931 dinobatkanlah Andi Mappanyukki sebagai Raja Bone Ke- XXXII dengan gelar Sultan Ibrahim.
                   Baginda cukup berwibawa dan mempunyai harga diri. Baginda tidak mau begitu saja didikte oleh Belanda, tidak segan- segan membela kepentingan rakyat walauoun harus berhadapan dengan Belanda. Belanda sangat berhati-hati Baginda, namun menghormati sikap dan pendirian Raja.
                   Tahun 1944 ketika tentara Jepang semakin terdesak oleh sekutu, Jepang berusaha mengajak rakyat untuk membela tanah airnya. Jika di Pulau Jawa dan daerah lainnya terbentuk suatu wadah yang menghimpun rakyat untuk mencapai kemerdekaan, maka di Tanah Bone pun dibentuk suatu organisasi yang dikenal dengan SUDARA singkatan dari SUMBER DARAH RAKYAT.
                   SUMBER DARAH RAKYAT ini dibentuk, adalah merupakan persiapan badan perjuangan yang sesunggunhya bertujuan mencegah kembali penjajahan Belanda di Indonesia.
                   Perjuangan Andi Mappanyukki dalam menentang penjajah tidak diragukan lagi, demikian pula gigihnya mempertahankan kemerdekaan yang ditandai dengan pernyataan sikap dan pendirian Raja serta Rakyat Bone tetap berdiri dibelakang Pemerintah RI yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
                   Atas penarikan diri Raja Bone XXXII Andi Mappanyukki dari tahta kerajaan, akhirnya atas permufakatan Anggota Hadat Tujuh, memilih Andi Pabbenteng Petta Lawa menjadi Raja Bone Ke-XXXIII, yang merupakan Putra dari Panglima Tertinggi Kerajaan Bone Petta PongawaE.
                   Dua tahun kemudian yakni pada tanggal 1 November 1948 atas kesepakatan Raja-raja di Sulawesi selatan, mengangkat Andi Pabbenteng Petta Lawa menjadi Ketua Dewan  Adat Tinggi Sulawesi selatan, dan wakilnya di tunjuk Raja Gowa Andi Ijo Karaeng Lalolang.
                   Pada bulan Mei 1950, untuk pertama kalinya selama Kerajaan Bone terbentuk, dan berdiri diawal abad ke – XIV tahun 1330 terjadi suatu demonstrasi rakyat di Kota Watampone yang menuntut dibubarkannya Negara Indonesia Timur, dihapuskannya Pemerintah Kerajaan dan menyatakan berdiri dibelakang Pemerintah RI.
                   Tanggal 21 Mei 1950 terbentuklah Komite Nasioanal Indoneisa ( KNI ) Daerah Bone . Setelah Pelantikan KNI maka terjadilah peristiwa penyerahan kekuasaan Legislatif dari Pemerintahan Kerajaan kepada KNI, dan beberapa hari kemudian para anggota Hadat Tujuh mengajukan permohonan berhenti.
                   Demikianlah perjalanan panjang Kerajaan Bone hingga memasuki masa kemerdekaan. Hingga saat ini senantiasa memperlihatkan kemajuan yang menggembirakan.
                   Sampai saat ini tercatat sejumlah 14 Kepala Daerah yang diberi kepercayaan untuk mengembang amanah Pemerintah di Tanah Bone masing- masing Andi Pangeran Petta Rani, Ma’mun Daeng Mattoro, Andi Mappanyukki, Andi Suradi, Andi Jamuddin, Andi Tjatjo, Andi Baso Amir, Haji Suaib, Haji P.B Harahap, Haji Andi Madeali, H. Andi Sjamsu Alam, H. Andi Syamsoel Alam, H. Andi Muhammad Amir dan Haji Andi Muhammad Idris Galigo,SH.
                   Demikianlah sejarah singkat Tanah Bone

0 komentar:

PROFIL BENDA - BENDA PUSAKA KERAJAAN BONE

TEDDUNG PULAWENG
PAYUNG EMAS
Merupakan paying Pusaka Kerajaan Bone yang telah ada sejak Zaman kejayaan Raja Bone ke-15 La Tenri Tatta Arung Palakka (1654 – 1696).
Pusaka ini merupakan suatu pusaka Kerajaan yang diterima oleh Kerajaan Bone sebagai bentuk penghargaan dari Kerajaan Pariaman, yang merupakan wujud sikap persaudaraan antara dua Kerajaan.
Sesudah Pemerintahan Raja Bone XV, maka Pusaka ini menjadi suatu alat perlengkapan Resmi Pengangkatan dan Pelantikan Raja-Raja hingga Ke Masa Raja Bone terakhir.
Susunan dan bentuk :
Ø  Tongkat Payung mempunyai tinggi 18 ruas yang terbuat dari emas;
Ø  Daun Payung bermahkotahkan emas, dikelilingi 11 anting emas;
Ø  Meliputi 72 helai jari-jari yang dilengkapi dengan 71 buah anting-anting kecil serta 57 buah anting besar yang terbuat dari emas;
Ø  Pada kain Payung, tampak dihiasi dengan 2 susun lilitan rante emas, sebagai tanda kesatuan persaudaraan antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Pariaman.


LA MAKKAWA
KERIS

Merupakan keris yang disebut juga Tappi Tatarapeng Pusaka Raja Bone ke-15 La Tenri Tatta Arung Palakka. Keris Pusaka ini seluruh hulu dan sarungnya berlapis emas.
Pada zamannya pusaka ini dipergunakan oleh Arung Palakka dalam setiap pertempuran melawan musuh kerajaan. Pusaka ini memiliki sifat ketajaman serta sangat berbisa, sehingga sekali tergores (terluka) sekejab waktu akan meninggalkan atau dalam bahasa bugis disebut Makkawa.
Pusaka ini juga merupakan salah satu perlengkapan resmi dalam upacara pelantikan dan pengangkatan Raja-Raja Bone.
   




SEMBANGENGPULAWENG
SELEMPANG EMAS
Merupakan Pusaka Kerajaan Bone yang ada pada masa Raja Bone yang ke-15 La Tenri Tatta Arung Palakka. Pusaka ini dipersembahkan kepada Pemerintah Kerajaan Bone sebagai penghargaan atas keberhasilan Kerajaan Bone membangun kerja sama dengan Raja Pariaman.
Pusaka ini kemudian menjadi perlengkapan resmi dalam upacara pelantikan dan penobatan Raja-Raja
Susunan dan bentuk :
Ø  Terbuat dari emas berbentuk rantai-rantai yang berukuran besar dengan jumlah 63 potongan dengan panjang 1,77 meter dengan berat seluruhnya mencapai 5 kg
Ø  Pada ujungnya tergantung 2 buah medali emas bertuliskan bahasa Belanda sebagai tanda penghormatan kerajaan Belanda kepada arung Palakka Raja Bone ke-15.



ALAMENG TATA RAPENG

SENJATA ADAT  7


Pusaka Kerajaan ini adalah jenis Kalewang yang hulu serta sarungnya berlapis emas, dan merupakan kelengkapan pakaian kebesaran Anggota Ade’ Pitu.


LA SALAGA

TOMBAK


Merupakan sebuah Tombak yang pegangannya dekat mata tombak dihiasi emas. Tombak ini merupakan symbol kehadiran Raja.


LA TEA RIDUNI
KALEWANG
Sebuah Kalewang yang disebut Alameng serta hulunya berlapis emas dan dihiasi intan permata. Pusaka ini merupakan Pusaka Raja Bone ke-15 La Tenri Tatta Arung Palakka.
Pusaka selalu dikebumikan bersama Raja yang mangkat, namun setiap kali itupun memunculkan diri di atas Makam yang diliputi cahaya terang benderang.
Sehingga atas kejadian ini, maka pusaka ini disebut La Tea Ri Duni ( yang tidak berkenan untuk dikebumikan). Pusaka ini kemudian disimpan dan mendapat pemeliharaan, serta dipergunakan sebagai perlengkapan resmi dalam upacara Pelantikan dan Pengangkatan Raja-Raja Bone.

0 komentar:

Perjanjian Tellumpoccoe


Perjanjian dalam Sejarah Sulsel
1301391074825751283
Arung Palakka, Koningh Der Bougies. Perjuangannya membebaskan rakyat Bone-Soppeng dari ‘Penjajahan’ Gowa banyak diwarnai dengan Ulu Ada (Perjanjian) dalam Abad 17. (ist)
MASYARAKAT Bugis Makassar adalah masyarakat yang suka membuat perjanjian (Bugis : Ulu Ada’, Makassar : Ulu Kana), bukan hanya dalam kehidupan sosial, tetapi juga dalam konteks kehidupan politik berpemerintahan. Terbentuknya kerajaan dan diangkatnya Tomanurung menjadi raja pertama dalam banyak catatan lontaraq selalu diawali dengan perjanjian atau kontrak politik, sebuah ikatan janji antara pemimpin dengan rakyatnya. Ini berarti sudah ada rekam jejak kehidupan demokratis di masa lampau meski pemerintahan berjalan atas dasar sistem kerajaan.
Secara harfiah, Ulu Ada’ (Bugis) atau Ulu Kana (Makassar) berarti pangkal pembicaraan.  Kata ini dimaknai sebagai Perjanjian. Misalnya Perjanjian di Tamalate (Makassar : Ulu Kanayya ri Tamalate’, Bugis : Ulu Adae’ ri Tamalate). Saya periksa semua kata yang digunakan untuk menamai suatu perjanjian antar raja dan kerajaan, umumnya menggunakan kata “Ulu“ (kepala) dan “Cappa“ (Ujung). Penggunaan dua kata ini bermakna sangat serius atau menegaskan bahwa perjanjian yang dilakukan bukanlah suatu hal yang main-main, karena itu harus sama – sama ditaati. Orang atau raja yang melanggar perjanjian biasanya akan diumpat sebagai seseorang yang tidak punya kepala (Ulu). Biasa kita mendengar ungkapan yang menyatakan, “tau tena kulle nitanggala ulunna“ atau “tau tena kulle niteteng ulu kananna“, yang berarti umpatan terhadap seseorang yang tidak bisa dipegang kata – katanya.
Dalam pemahaman yang lain, Perjanjian dalam bahasa bugis disebut Ulu Ada’. Penggunaan kata ini saya berusaha memahaminya bahwa suatu perjanjian bukan hanya sekedar memegang kata – kata, tetapi juga berarti memegang adat atau ‘pangngaderreng’ karena adat menganjurkan seseorang itu lempu’ dan getteng (jujur dan teguh hati).  Jadi, seseorang yang melanggar perjanjian dapat diumpat sebagai seseorang yang juga tidak beradat, dalam pemahaman Bugis. Mungkin ini pulalah sebabnya kenapa dalam perjanjian persahabatan atau gencatan senjata, selalu dimasukkan butir atau pasal agar yang berjanji sama – sama memegang teguh adat masing – masing dan tidak merusak adat negeri lain. Biasa pula diungkapkan dengan bahasa,“tidak mencampuri urusan dalam negeri masing – masing“, karena tiap negeri punya adat yang berbeda, termasuk diantaranya tidak boleh mencampuri pewarisan takhta (ulaweng matasa pattola malampe).
Contoh mengenai hal ini dapat dilihat pada Perjanjian Tamalate (Bugis : Ulu Adae’ ri Tamalate, Makassar : Ulu Kanayya ri Tamalate) pada masa pemerintahan Raja Bone VI, La Uliyo Botee Matinroe ri Itterung (1519 – 1544) dan Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna (1512-1548). Ulu Adae ri Tamalate yang terjadi pada Tahun 1540 ini merupakan perjanjian persahabatan antara Gowa dengan Bone. Pasal – pasal dalam Perjanjian ini melukiskan betapa indahnya persaudaraan antara Bone dengan Gowa, dua kerajaan terkemuka penguasa semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan. Namun masa damai antara keduanya hanya berlangsung selama 24 Tahun (1538 – 1562), sebelum terjadinya serangan militer pertama Gowa ke Bone pada tahun 1562 yang didahului dengan peristiwa sabung ayam ’Manu Bakkana Bone vs Jangang Ejana Gowa’. (lihat catatan : Manu’)
Sebagaimana perangnya yang luar biasa, masa perang Gowa Vs Bone berlangsung dari tahun 1562 – 1611 sampai tiba masanya Arung Palakka menggandeng Speelman (Belanda) memerdekakan Bone-Soppeng dari Penjajahan Gowa, persahabatan yang dilalui Gowa dan Bone juga sangat luar biasa. Peristiwa pembukaan hubungan diplomatik pertama antara Gowa dan Bone (1538) bahkan diupacarakan dengan acara memperhadapkan senjata sakti kedua kerajaan, Lateariduni (kelewang arajang, senjata pusaka) Bone dan Sudanga (kelewang kalompoang, senjata pusaka) Gowa di Laccokong dimana Raja Gowa pertama kali menginjak Tana Bone. Kunjungan balasan Raja Bone, La Uliyo Botee ke Gowa inilah yang kemudian melahirkan “Ulu Adae ri Tamalate“ yang bunyi perjanjiannya juga sangat luar biasa :
1. Narekko engka perina Bone, maddaungngi tasie naola Mangkasae, Narekko engka perina Gowa makkumpellei bulue’ naoia to Bone.
(Kalau Bone terancam bahaya musuh, maka berdaunlah lautan dilalui orang Makassar, kalau Gowa terancam bahaya musuh maka ratalah gunung dilalui orang Bone).
2. Tessinawa – nawa majaki, tessipatingarai kanna Bone Gowa, tessiacinnaiyangngi matasa pattola malampe.
(Tidak akan saling berprasangka buruk, tidak akan saling menyerang, Bone-Gowa, dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri).
3. Iyyasi somperengngi Gowa, iyyasi manai ada torioloe, iyyasi somperengngi Bone, iyyasi manai ada torioloe’.
(Siapa saja yang melayarkan bahtera Gowa, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini dan siapa saja yang melayarkan bahtera Bone, maka dialah yang mewarisi amanat leluhur ini).
4. Niginigi temmaringngerang riada torioloe, mareppai urikkurinna, lowa – lowanna, padai tello riaddampessangnge ri batue tanana.
(Siapa saja yang tidak mengingat amanat leluhur ini maka pecahlah periuk belanganya, negeri, seperti telur dihempaskan ke atas batu).
Perjanjian ini saya anggap suatu perjanjian yang luar biasa, butir – butir perjanjian ini seandainya dilaksanakan oleh penerus takhta Gowa dan Bone, sejarah akan bercerita lain. Namun, kata banyak orang, perjanjian memang dibuat untuk dilanggar. Dan di banyak catatan lontaraq, akhirnya kitapun mendapati puluhan perjanjian yang mengiringi Ulu Adae ri Tamalate ini. Ada perjanjian yang disebut Ulu Kanayya ri Caleppa (Bugis : Ulu Adae ri Caleppa) sebagai buntut serangan militer keempat Gowa ke Bone (1565) yang berakhir dengan gencatan senjata. Perang yang dimenangkan oleh Bone tersebut kemudian diperbaharui lagi perjanjiannya lewat suatu kesepahaman bersama, yang oleh Gowa disebut Kana-kanayya iwarakanna Bone (Perjanjian di Utara Bone).
Perjanjian – perjanjian lainpun terus berlanjut. Pihak Bone pun kemudian memprakarsai pembentukan triaple alliance, “Mattellumpocoe ri Timurung“ (1572), antara Bone, Soppeng dan Wajo sebagai penyatuan kekuatan bugis mengantisipasi serangan Gowa yang semakin menggila ingin menjadi penguasa tak tertandingi di semenanjung barat dan timur Sulawesi Selatan. Berdasarkan pengalaman pahit dari tahun ke tahun yang harus dilalui Bone akibat serangan militer Gowa dan gangguan militer Luwu, maka Raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge didampingi oleh penasehat ulung kerajaan, Kajao Laliddong, berupaya memperkuat benteng pertahanan Bone untuk menghadapi kemungkinan serangan militer Gowa dan Luwu. Dengan pendekatan diplomatik La Tenrirawe Bongkangnge berhasil membentuk kekuatan bersama antara Bone, Soppeng dan Wajo, di Kampung Bunne Timurung, Bone Utara pada tahun 1572.
Upacara pembentukan triple alliance tersebut dihadiri oleh delegasi dari masing – masing kerajaan dari Bone, Soppeng dan Wajo : Kerajaan Bone, diwakili langsung oleh rajanya La Tenrirawe Bongkangnge, pensehat kerajaan Kajaolaliddong dan pembesar – pembesar Kerajaan Bone lainnya, Kerajaan Wajo, dipimpin langsung oleh La Mungkace Touddamang Arung Matowa, Pillae, Cakkuridie, Pattolae, dan pembesar – pembesar Kerajaan Wajo lainnya, dan Kerajaan Soppeng, diwakili oleh La Mappaleppe Pong Lipue, Datu Soppeng Arung Bila, Arung Pangepae, dan Arung Paddanrenge”.
Tellumpoccoe ri Timurung menetapkan prinsip – prinsip kesepakatan sebagai berikut :
1. Malilu sipakainge, rebba sipatokkong, siappidapireng riperi nyameng ;
(Memperingati bagi mereka yang tidak mentaati kesepakatan, saling menegakkan jika ada yang tersungkur dan saling membantu dalam suka duka).
2. Tessibaiccukang, tessiacinnaiyang ulaweng matasa, pattola malampe, waramparang maega pada mallebang risaliweng temmallebbang ri laleng.
(Tidak akan saling mengecilkan peran, tidak akan saling menginginkan perebutan takhta dan penggantian putera mahkota dan tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing – masing).
3. Teppettu – pettu siranreng sama – samapi mappettu, tennawawa tomate jancitta, tennalirang anging ri saliweng bitara, natajeng tencajie. Iya teya ripakainge iya riduai, mau maruttung langie, mawoto paratiwie, temmalukka akkulu adangetta, natettongi Dewata Seuwae .
(Tidak akan putus satu – satu melainkan semua harus putus, perjanjian ini tidak batal karena kita mati dan tidak akan lenyap karena dihanyutkan angin keluar langit, mustahil terjadi. Siapa yang tidak mau diperingati, dialah yang harus diserang kita berdua. Walaupun langit runtuh dan bumi terbang, perjanjian ini tidak akan batal dan disaksikan oleh Dewata SeuwaE).
4. Sirekkokeng tedong mawatang, sirettong panni, sipolowang poppa, silasekeng tedong siteppekeng tanru tedong.
(Saling menundukkan kerbau yang kuat, saling mematahkan paha, saling mengebirikan kerbau. Artinya mereka akan saling memberikan bantuan militer untuk menundukkan musuh yang kuat).
5. Tessiottong waramparang, tessipalattu ana parakeana.
(Tidak akan saling berebutan harta benda dan berlaku bagi generasi penerus).
Substansi kesepakatan perjanjian diatas menunjukkan bahwa ketiga kerajaan, Bone, Soppeng dan Wajo secara sadar membentuk pakta pertahanan militer untuk menghadapi musuh bersama mereka. Dengan demikian Tellumpoccoe ri Timurung merupakan kekuatan ketiga di kawasan Sulawesi Selatan disamping Gowa dan Luwu pada masa itu.
Perjanjian “Mattelempoccoe ri Timurung“ pun mengalami pasang surut kesepahaman diantara ketiga kerajaan tersebut hingga melahirkan lagi perjanjian – perjanjian kecil seiring perkembangan kekuasaan di semenanjung timur serta ekspansi yang luar biasa dari Kerajaan Gowa. Di belakang hari, Wajo memisahkan diri dan mengakui Karaeng Gowa sebagai penguasa atasannya. Arung Palakka sendiri sebelum melarikan diri ke Buton masih sempat mengadakan perjanjian di Atappang yang disebut “Pincara Lopie’ ri Atappang“ (1660) sebagai upaya mempersatukan kembali Bone dan Soppeng dalam melawan Gowa.
Raja Gowa Sultan Alauddin (Daeng Manrabia Tumenanga ri Gaukanna) sendiri memakai Ulu Ada’ (Perjanjian) masa lalu, antara kerajaan Makassar dengan Kerajaan-kerajaan Bugis di semenanjung timur yang menyebutkan bahwa “Siapa saja kelak yang mendapatkan petunjuk dan jalan hidup yang lebih baik, maka yang satu harus memberitahukan yang lain“. Atas dasar Ulu Ada’ inilah yang dipakai sebagai alasan perang pengislaman yang dalam sejarah disebut “Bundu Kasallangan“ (Bugis : Musu Sellenge’) untuk mengislamkan kerajaan – kerajaan lain yang belum memeluk Islam.
Raja Gowa (Karaeng Gowa)  menganggap bahwa Ulu Ade’ itu harus diberlakukan dan ditaati, dan jalan hidup yang lebih baik itu adalah Islam. Meskipun Raja Bone La Tenrirua memahami dan menyetujui maksud pengislaman tersebut namun rakyat dan Dewan Hadat Bone tidak menaatinya. Bagi rakyat Bone, dengan serangan militernya bertahun – tahun sampai kemudian ditaklukkan Bone oleh Gowa (1611) menganggap bahwa apa yang dilakukan Karaeng Gowa tak lebih dari sebuah bentuk penjajahan suatu negara terhadap negara yang berdaulat. Belum lagi pengerahan tenaga kerja paksa sebanyak 40.000 rakyat Bone – Soppeng ke Gowa dalam membangun Benteng – benteng Makassar adalah fakta lain yang sangat menyakitkan Bone – Soppeng.
Penindasan dan kerja paksa ribuan rakyat Bone – Soppeng inilah yang kemudian membangkitkan semangat perlawanan Arung Palakka dalam membebaskan negerinya dari penjajahan Gowa. Dalam Sejarah perlawanan dan pelarian Arung Palakka baik di negeri sendiri, di Buton maupun saat berada di Batavia, ada begitu banyak perjanjian / ikrar dan sumpah yang tercipta, sebagai bentuk penegasan rakyat dan kesetiaannya atas tekad dan semangat Petta Malampeq Gemmekna ini.  Keberhasilan Arung Palakka menggandeng Speelman (Belanda) yang kemudian cerita sejarah ini berakhir pada “Cappaya ri Bungaya“ (Perjanjian Bungaya), tahun 1660. Pada saat itu, imperium besar, kerajaan terbesar di Indonesia Timur, Kerajaan Gowa perlahan – lahan menuju titik kehancuran.  (*)

0 komentar:

Template by Clairvo Yance
Copyright © 2013 sang sejarawan and Blogger Themes.