Kerajaan-Kerajaan Yang Pernah Ada Di Daerah Wajo
Kedatuan tertua di Wajo adalah kedatuan Cina yang raja pertamanya La Sattumpugi. Dalam Lontara Sukkuna Wajo diterangkan bahwa La Santupugi yang datang ke daerah Tanah Ugi ditemani oleh para pengikutnya dengan perahu-perahu berbentuk dua kedatuan yaitu Cina Ri Lau dan Cina Ri Aja.
Yang disebut Cina Ri Lau adalah Bone sedangkan Cina Riaja itu yang disebut Tanah Ugi.
Jadi disitulah kelahiran tanah bugis yang kemudian hari menyebar ke beberapa daerah yang di diami suku ugi atau bugis.
Menurut Lontara Sukkuna Bugis bahwa
nama Ugi diambil dari nama raja pertama Bina yaitu La Santupugi, akhir kata La Satunpugi adala ugi.
Menurut sebuh lontara Andi Makkaraka Arung Bentempola bahwa nama kedatuan Cina Ri Aja diubah menjadi Pammana yang kemudian disingkat lagi dengan Pammana.
Asal mula kerajaan Wajo diceritakan dari berbagai versi menurut beberapa lontara.. Dalam disertasi Noorduysi (1955) terdapat beberapa cerita tentang asal mula Wajo, Mathes (1967) menceritakan tentang Wettadampalie, puteri Datu Luwu yang terkena sakit kulit dibuang dengan para pengikutnya oleh karena rakyat Luwu takut dijangkit penyakitnya. Setelah mengarungi lautan selama 40 hari dan 40 malam maka mereka terdamparlah disuatu daerah, dimana tumbuh sebatang pohon Bajo yang sangat tinggi dan sepakatlah mereka untuk membuat perkampungan
Tokoh We Taddampali sering disebut malasa uli’e. Ada lontara yang mengatakan puteri seorang Datu Luwu kawin dengan La Malu To Anginraja Puteri Datu Babauae. Sejak perkawinan itu la malu diberi gelar Arung Saotanre atau raja yang tinggi rumahnya oleh karena memperistrikan Puteri Datu Luwu. We Taddampali bukanlah pembentuk kerajaan Wajo tetapi kedatangannya memberikan status penghargaan istimewa pada keturunannya yang akan menjadi Saotanre yang kemudian menjadi arung Bettempola, Inanna Limpoe yang biasanya juga merangkap jabatan Ranreng Bettempola.
Lahirnya kerajaan Boli
Rakyat Cinnotabi berkumpul membicarakan perbuatan Arung La Tenritippe dan diputuskan bahwa perbuatan mengadildi tanpa pemeriksaan kedua belah pihak dan saksi-saksinya oleh seorang raja yang tidak berwenang mengadili karena merampas wewenang Matoa Pabbicara. Selain bertentangan dengan bicara (hukum acara peradilan) juga tidak sah serta melanggar hak-hak asasi rakyat.
Akhirnya rakyatpun meninggalkan daerahnya dan menuju kesebuah daerah yang disebut Boli. Mereka membangun tiga perkampungan dan membuka sawah. Daerah dimana La Tenritau dan pengikutnya tinggal dinamakan Majauleng. Daerah dimana la Tenripekka menetap disebut Sabbangparu dan menyebut kesatuan itu Lipu Tellu Kajuru’e (negeri yang terdiri atas tiga bagian yang tidak terpisahkan bagaikan sebuah kemiri). Ketiganya memiliki wewenang yang sama untuk melaksanakan pemerintahan dalam arti luas ditingkat pusat kerajaan. Sedang didaerah masing-masing mereka memerintah tanpa campur tangan persekutuan daerah lain.
La Tenribali dan La Tenritippe, setelah melihat perpindahan rakyat Cinnotabi akhirnya pindah juga ke suatu daerah yang disebut Penrang dimana sebatang pohon Penrang besar Tegak berdiri. Setelah mereka tinggal di Penrang, maka ketiga orang kepala Limpo di Boli dan para matoa memutuskan untuk memilih La Tenribali menjadi Arung Mata Esso di Boli untuk memerintah ketiga limpo dan untuk mengayomi rakyat. La Tenribali menyetujui permintaan itu dengan syarat bahwa sebelum ia diangkat menjadi raja, maka harus dibuat perjanjian pemerintahan yaitu :
1. Arung mataesso harus menghormati hak-hak otonomi didaerah-daerah
2. Semua pejabat kerajaan baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah harus saling menghormati wewenangnya masing-masing tanpa canpur tangan pihak lain.
3. Para matoa harus menjadi anggota dewan pemerintah pusat atau daerah
4. Matoa Pabbicara di limpo yang berwenang mengadili perkara sipil dan kejahatan
5. Hak-hak rakyat yaitu ade ammadekangengna to Bolie harus dihormati oleh parta pejabat termasuk hak milik rakyat.
6. Pejabat Limpo yang satu tidak boleh langsung memiliki limpo lain untuk menangkap orang sebelum meminta izin pejabat limpo lain.
Setelah para limpo dan para matoa menyertujui usul La tenribali, maka beberapa lama kemudian diadakanlah perjanjian antara calon Arung Mataesso La Tenribali dan rakyat ketiga limpo. Perjanjian ini dilaksanakan dibawah pohon besar yang tinggi dan lurus serta rindang daunnya. Seusai upacara pelantikan, maka la Tenribali diberi gelar Batara Wajo.
Setelah La Tenribali mangkat maka ia digantikan oleh puteranya yang bernama La Mataesso (Batara Wajo II). Oleh karena Batara Wajo sangat bijaksana dalam memperlakukan rakyatnya serta menghormati hak-hak asasinya, maka ramailah orang dari negeri lain masuk ke Wajo dan menetap disana. Musyawarah Batara Wajo II menghasilkan keputusan mengubah nama ketiga limpo yaitu Majauleng menjadi Bentengpola, Sabbangparu menjadi Tellotenreng dam Takkalla menjadi Tuwo.
Wajo menjadi kacau setelah putera la Mataesso bernama La Pattedungi To Sammalangi menggantikannya. Kegemaran Batara Wajo III ini adalah berkeliling mencari perempuan untuk diperkosanya termasuk mereka yang sudah bersuami. Oleh karena perbuatan demikian sangat tercela, maka mereka menghadap La Tiringweng To Taba Arung Saotanre agar menasehati Arung La Patteduungi agar menghentikan perbuatannya yang sangat biadab itu. Batara wajo III ini berjanji tidak akan memperkosa lagi perempuan yang bersuami dan dimintainya supaya mereka memakai pakaian laki-laki. Akan tetapi ternyata ia tidak menepati janjinya, bahkan ceritanya ia menggantung kelambu dipasar dan menarik semua perempuan ke dalam kelambunya untuk diperkosa.
Dalam keadaan kacau itu, tibalah La Taddampare di Wajo. Ia berusaha menasehati La Patteddungi agar berhenti berbuat tercela, tetapi la Pattedungi tidak menghiraukannya bahkan mengejek La Tadampare sebagai bangsawan datang. Akhirnya La Taddampare megunjungi la Pateddungi dan memaksa dia meninggalkan Wajo. Akhirnya La Pateddungi meninggalkan Wajo dan menuju ke Sajoanging.
Setelah la Pateddungi dipecat, maka ditunjuklah La Tiringeng To Taba untuk melaksanakan pemerintahan. Ia menerimanya dengan syarat, itu hanya berlaku untuk sementara waktu.
Perubahan Kerajaan Heriditair Wajo Menjadi Kerjaan Efektif Wajo
Satu setengah tahun setelah dipecatnya La Patteddungi (Batara Wajo ke III), maka diadakanlah musyawarah yang dihadiri oleh semua rakyat dan pejabat-pejabat saat itu. Dalam musyawarah diputuskan bahwa La Taddampare Kemanakah La Tiringeng To Taba terpilih menjadi raja, tapi ia menolak dan lebih memilih untuk meninggalkan Wajo. Dengan kepergiannya, maka ketiga orang Paddanreng dan para Matoa menjadi bingung. Atas usul Pa’ddanreng Talo Tenreng dan Pa’danreng Tuwa La Oppeng, maka Pa’ddanreng Bentengpola diutus untuk menemui La Tiringeng To Taba untuk kembali ke Wajo.
Karena yang bersangkutan menolak untuk dijadikan raja, maka mereka memilih calon-calon dari bangsawan terbaik keturunan dinasti Cinnotabi. Akhirnya terpilihlah La Palewo To Palipu Matoa Majauleng, karena ia diangap paling senior diantara semua calon. Ia memerintah kurang lebih 7 atau 8 tahun. Setelah ia meninggal ia digantikan oleh Settiware bekas Paddanreng Bentengpola.
Arung Matoa IV yang terpilih ialah La Taddampare Puang Rimaggalatung. Ia terpaksa menerima pilihan itu karena desakan La Tiringeng To Taba Arung Bettempola yang kebetulan adalah pamannya.
Kejayaan Wajo dapat dicapai setelah La Taddanpare Puang Ri Maggalatung selama 20 tahun. Wajo yang mulanya merupakan kerajaan kecil yang wilayahnya hanya mencakup wanua Tosora kemudian dapat mengembangkan sayapnya ke segala penjuru tanah bugis. Faktor penyebapnya karena ia ahli dalam siasat perang, unggul, pemberani, sederhana, budiman, lembut dan sangat bijaksana. Beliaulah yang meralisasikan hak-hak asasi manusia yang dirumuskan dalam perjanjian pemerintah di Alapdeppa.
good story bro
BalasHapus