Rumah Bugis & Strata Sosial Orang Bugis

Menurut adat istiadat yang berlaku pada suku bugis, strata sosial orang dapat dilihat dari atap rumahnya. Pada atap rumah suku bugis berbentuk prisma, terdapat berbagai yang disebut dengan timpa’ laja. Berbagai model tutup bubungan inilah yang mewujudkan perbedaan strata sosial masyarakatnya.

Rumah tempat tinggal suku bugis dibedakan berdasarkan status sosial dalam suku bugis dikenal dengan istilah saoraja, salassa, dan bala. Saoraja raja, yang terdiri dari dua kata yaitu : sao berarti, gelar rumah raja dan raja berarti : besar besar, atau raja, penguasa. Jadi saoraja adalah rumah raja (penguasa). Yang ditempati oleh raja dan keturunannya atau kaum bangsawan. Sedangkan bala, adalah gelar rumah yang ditempati oleh orang maradeka atau orang biasa.

Bila dilihat dari segi bangsawannya, kedua jenis rumah (tempat tinggal) ini, tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil. Perbedaannya hanya terletak pada status penghuninya dan ukuran rumahnya.

Masalah rumah bugis serta yang bersangkut paut dengan rumah menurut kepercayaan / adat bugis. Dari ketaerangan La Ceppaga seorang Panrita Bola (70 – th) Alamat kampung Garessi Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau Kab. Barru. Dikutip dari Disst. Prof. Dr. A. Zainal Abidin Farid SH.

Bentuk Rumah Bugis

Bentuk rumah bugis : Persegi Empat
Kerangka Rumah bugis : (gambar sebelah)

Untuk mendirikan rumah selalu menggunakan dua arah sebagai arah yaitu timur dan barat.
Kalau rumah menghadap ke timur, maka letaknya : rumah terdiri dari : 4 tiang ke samping (dari kiri ke kanan). No. 1-2-3-4. dan 4 tiang ke belakang (dari depan ke belakang). No. I-II-III-IV
Tiang 1 = I adalah tiang tempat bersadarnya tangga yang mempunyai sifat laki-laki karena tangga adalah tempat lalu lintas mencari dan membawa rezeki dari sang pria (Kepala Rumah Tangga) untuk sang wanita (Ibu rumah tangga).

Tiang II+2 adalah tiang pusat yang mempunyai sifat perempuan untuk menyimpan dan mempergunakan rezeki/hasil yang diperoleh sang kepala rumah tangga. Tiang II – 2 bila hanya terbatas pada lantai, maka tiang III – 2 menggantikan fungsi fosil bola atau tiang pusat (pusar rumah).

Menurut kepercayaan orang bugis, mendirikan rumah adalah bagaikan menciptakan hidup baru bagi pria dan wanita, justru karena rumah itu rumah diklassifikasikan sebagai manusia. Bagaikan kehidupan sebagai pria dan wanita yaitu :

Tiang I – 1 = tempat bersandarnya tangga diumpakan pria. Tiang II – 2 atau III – 2 tiang pusat (pusar rumah) diumpakan wanita.

Dalam mendirikan rumah yang membujur ke timur diumpamakan rumah itu sebagai manusia berbaring membujur ke timur maka urutan tiang-tiangnya adalah:

I – 1, 1 – 2, 1 – 3, 1 – 4.

II – 1, II – 2, II – 3, II – 4.

III – 1, III – 2, III – 3, III – 4.

a. Tiang I – 1 difiksikan sebagai kepala manusia dan inilah yang dijadikan sandaran tangga, karan fungsi kepala sebagai manusia itu diterapkan kepada rumah tersebut, menjadi fungsi tempat sandaran rumah. Tangga itulah tempat lalu lintas sang pria mencari dan membawa rezeki kepada wanita. (diumpamakan pula sebagai bagian kepala/mulut tempat masuknya makanan ke perut.

b. Tiang II – 1 adalah masih merupakan bagian dari kepala, sedangkan tiang II – 2 atau III – 2 pusat rumah (fosi’ bola)

Pusat mansuia adalah bagian perut yang menyimpan makan untuk hidupnya. Sedang rumah diterapkan sebagai tempat menyimpan hasil/rezeki yang diperoleh oleh sang pria. Setelah kita mengetahui fungsi kedua tiang tersebut maka untuk mendirikan rumah maka kedua tiang inilah yang terlebih dahulu dipilih dan diteliti mutu dan sifat – sifatnya baiknya. Sifat baik dari tiang tersebut dilihat dari pusar (pangkal tangkai yang disebut pasu).

a.
Kalau Tiang itu bulat maka empat tiang harus diperiksa yaitu
Pada tiang I – 1, I – 2, II – 1 dan II – 2 atau III – 2 tidak boleh ada pusar yang berhadapan antara tiang I – 1 dan tiang II – 2 dan tiang II – 1 dengan tiang II – 2 atau II – 2.
b. Kalau tiang tiu persegi empat dan tiang II – 2 tidak melewati lantai maka hanya tiga tiang yang harus diperiksa yaitu tiang I – 1, dan tiang I – 2, dan tiang II – 1, tidak boleh ada pusar yang berhadapan antar ketiga tiang tersebut.

ad. a dan ad. b semuanya diperiksa mulai pada arateng sampai pada padongkot.

Lantai yang terdapat diantara tiang I – 1, I – 2, II – 1 dan II – 2 adalah lantai yang suci, yaitu tempat pertama – tama harus ditempati kepala dan ibu rumah tangga bermalam semalam atau tiga malam bila rumah itu mula ditempati dan setelah itu barulah pindah ke tempat tidurnya yang telah ditentukan khusus baginya, yaitu ruang yang ke II dari depan (Lontang Tengngae).

Sedang setiap orang yang meninggal dalam rumah tersebut harus ditempatkan pada lantai tersebut (lantai suci).

Setelah tiang untuk sandaran tangga dan tiang untuk pusat rumah telah ditentukan, barulah tiang-tiang dan perkakas rumah lainnya disiapkan.

Tata Cara Mendirikan Rumah

1. Melubang semua tiang-tiang dan melicinkannya (mappa’ dan makkattang).
Kalau tiang – tiang itu akan dilubangi dan dilicinkan maka yang pertama – tama yang harus dikerjakan ialah tiang sandaran tangga dan tiang pusar rumah setelah itu barulah alat – alat lainnya yang dikerjakan.

2. Mendirikan rumah. Dalam mendirikan rumah yang pertama-tama didirikan ialah tiang dasar atau pusar rumah barulah tiang tempat sandaran tangga yang menyusul tiang – tiang lainnya. Untuk mendirikan rumah menurut kepercayaan orang bugis, kedua tiang ini mempunyai fungsi yang ketat dasn oleh karena itu di bawah tiang tersebut disimpan benda-benda sebagai berikut:

* a. Kaluku (kelapa)
* b. Golla (gula)
* c. Aju Cenning (kayu manis)
* d. Ade Cenning (adas manis)
* e. Buah Pala

ad a, b, dan c diharapkan agar kehidupan rumah tangga selalu rukun dan bahagia dan murah rezeki.
ad. d, diharapkan agar setiap anggota rumah tangga menaati aturan-aturan adat yang berlaku dalam rumah tangga itu sendiri.

Menempati Rumah Baru (Menre Bola Baru)

1. Kepala dan Ibu rumah tangga bila menempati rumah baru, harus membawa ayam yaitu :
Kepala rumah tangga membawa ayam betina. Ibu rumah tangga membawa ayam jantan. Setelah kepala dan ibu rumah tangga sampai diatas rumah kedua ayam tersebut dilepaskan dan tidak boleh dipotong, karena dianggap sebagai ayam penjaga rumah.

Menurut kepercayaan orang Bugis, membawa ayam berarti kehidupan dan penghidupannya selalu dalam keadaan baik dan tentram, karena dalam istilah Bugis ayam adalah “Manu” diterapkan dalam kehidupan adalah manuanu mutoi atuwotuwongenna. Artinya baik-baik. Didalam menempati rumah baru Kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga menempati tempat yang suci satu malam, lalu pindah ke tempat yang telah disediakan yaitu pada Lontang Tengga (ruang tengah).

2. Sebelum kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga menempati rumah baru tersebut, terlebih dahulu ditempatkan buah-buahan yaitu :

* 1. Kelapa bertandan (Kaluku mattunrung) tua dan mudah.
* 2. Pisang bertandang (Otti Mattunrung) yang tua.
* 3. Nangka yang tua
* 4. Nenas yang tua
* 5. Tebu
* 6. Dan lain-lain yang manis-manis.

ad. 2. Dengan menghubungkan buah-buahan lainnya, dicita-citakan agar kehidupan dan penghidupan rumah tangga itu baik-baik dan bahagia. Anasa- cita - cita terkabul. (rifomi-nasai).

3. Setelah upacar menempati rumah baru berlangsung, disediakanlah makanan untuk para tamu-tamu dan bahkan seisi rumah, terutamah makanan yang menurut keper-cayaan orang-orang bugis membawa penga-ruh dalam kehidupan dan penghidupan dalam rumah tangga itu, antara lain :

a. Lana-lana (bedda’) kue ini adalah tepung mentah yang dicampur dengan kelapa dan gula merah. Lana-lana artinya “Mas-agena” (Longgar) = berkecukupan.

b. Jompo-jompo dan Onde-onde. Kue ini dibuat dari tepung ketan, bentuknya bundar, isinya gula merah. Khusus onde-onde cara memasaknya ialah dengan memasukkannya kedalam air yang se-dang mendidih dan sebelum masak onde-onde tersebut muncul terapung di atas air.
Menurut kepercayaan orang-orang Bugis, bahwa generasi di masa mendatang memper-oleh kehidupan dan penghidupan yang baik dan bahagia.

Mompo – Timbul – Muncul. Upacara menempati rumah baru kadang-kadang berlangsung selama 3 sampai 7 hari berturut-turut, yang dikunjungi oleh segenap famili, bahkan segenap penduduk dalam kampung tersebut.

Macam-macam Rumah Bugis dahulu kala

1. Salassa’ atau Saoraja.
Salassa’ hanya ditempati oleh arung (raja) yang memimpin pemerintahan dan lazim juga dise-but Saoraja. Saoraja dapat pula ditempati oleh Bangsawan dan/atau keturunan raja yang terdekat.

2. Salassa Baringeng (lantainya rata).
Salassa Baringeng (lantainya rata) yang ditempati oleh bangsawan yang disebut Anak Cera Ciceng.

3. Rumah tiga petak (lantainya bertingkat) memakai tamping tassoddo’.
Rumah tiga petak (lantai bertingkat) yang ditempati oleh mereka yang disebut ata simana (ata yang tidak dapat berpisah dengan raja/bangsawan dan mereka ini berhak menda-pat warisan baik materil maupun inmateril, antara lain kedudukan.

4. Rumah dua petak.
Rumah dua petak (Tellukkaarateng) ditempati oleh rakyat biasa termasuk:
Ata mana (hamba yang dibeli atau yang dikalahkan dalam judi atau dalam perang).
Ata Passaromase (hamba karena mencari kehidupan, lalu meng-hambakan diri).

Macam-macam Timpa’ Laja’

* 1. Salassa’ tidak terbatas banyaknya tingkatan Timpa’ Laja’nya.
* 2. Salassa Baringeng, hanya tiga tingkatan timpa’ laja’nya.
* 3. Rumah tiga petak, dua tingkatan timpa’ laja’nya.
* 4. Rumah rakyat / hamba, tidak bertingkat timpa’laja’nya.

Rumah orang Bugis, baik Saoraja maupun bola terdiri atas tiga bagian, ketiga bagian tersebut adalah

* (1) Awa Bola,
* (2) Ale Bola, dan
* (3) Rakkeang.

Awa Bola adalah kolom rumah yang terletak paa bagian bawah, antara lantai dan tanah.
Ale Bola adalah badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding rumah, terletak antara lantai dan loteng rumah.
Rakkeang adalah bagian rumah yang paling atas, bagian ini terdiri dari loteng dan atap rumah.
Pada Saoraja terdapat Timpa Laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampai sembilan tingkat, seperti dapat kita lihat pada Lontara Panguriseng Abbatirenna Anak Arungnge Ri Soppeng bahwa tingkat Rumah Adat Bugis ialah :

* I. Bocco Timpa’Laja 9 susun
* II. Bocco Timpa’Laja 7 susun
* III. Bocco Timpa’Laja 5 susun
* IV. Bocco Timpa’Laja 3 susun
* V. Bocco Timpa’Laja Polos,

(Mattulada, Prof,DR (1995)

Macam Tangga Rumah Bugis.

1. Safana, untuk alassa atau Saoraja dan salassa baringeng. Lazim terbuat bambu dengan lapisan/dasar bambu beranyam.
Safana juga dapat digunakan oleh rakyat biasa, yang membuat rumah tambahan (sarafo) bagi upacara perkawinan. Penganting dianggap sebagai raja sehari.

2. Tuka, yaitu tangga rumah Ata Simana’ yang mempnyai hubungan darah dengan arung dan atau bangsawan.
Disebut Tuka’ karena pemiliknya men-daki darahnya. Bahasa Bugis yang sinonim ialah tuppu, suatu istilah untuk bahagian ade’ (adat, hukum kebiasaan) yang mengatur tentang Hierarchie peraturan ade’.

3. Addengeng, yang terdiri dari :

* a. Addeneng yang mempunyai ibu tangga tiga buah, khusus untuk Pabbicara, pembantu raja, Arung Lili’ dan pejabat-pejabat negeri di luar golongan bansawan al. Inang tau, Anang, Tomacowa-cowa.
* b. Addeneng yang mempunyai ibu tangga dua buag, khusus untuk rakyat biasa dan abadi.


Bentuk rumah Bugis yang lain adalah Bola Sada’ yang berdampingan dua dengan sejajar bahagian depan, bentuk itu disebut Bola Sada’ karena sama besar dan sejajar, rumah ini dipereuntukkan bagi kalangan bangsawan, baik yang mempunyai jabatan negeri maupun tidak. Dari bentuk macam-macam rumah Bugis itu, bneserta timpa’laja serta tangganya membuktikan bahwa dalam masyarakat hukum orang Bugis dahulu terdapat standen sebagai berikut :

a. Arung (Raja) yang memerintah, yang lazim dikategorikan berdarah murni yang bergelar Datu, termasuk Ana’Mattola (Putra Mahkota).
b. Anakarung Bangsawan) yang ada pertalian darah dengan raja yang diklasifikasikan lagi dalam beberapa bagian.
c. Mardeka (Jemma Lappa’) termasuk tau Tongeng Karaja, yang masih mempunyai darah bangsawan, tetapi tidak dapat disebut Anakarung lagi, yaitu rakyat biasa yang jumlahnya terbanyak.
d. Ata (Hamba) abdi yang terdiri dari :

* 1. Ata Simana’ yaitu hamba yang tidak dapat dipisahkan dengan Raja atau bangsawan, yang dapat saling waris-mewarisi dengan Puangnya (tuannya) baik materil maupun inmateril.
* 2. Ata Mana’ yaitu hamba yang dibeli (lazim sanaknya sendiri yang menjualnya untuk merampas barang-barang pusaka bersama), atau orang yang dipidana mati tetapi diberi pengampunan, dapat hidup sebagai abdi raja/Bangsawan, atau ditawan dalam peperangan.
* 3. Ata Passaromase, yaitu hamba yang mengabdikan diri untuk dapat hidup, termasuk orang-orang yang kalah main judi atau berhutang, tetapi tak dapat membayar utangnya (pandeling).

Dalam semua bentuk dan macam rumah Bugis itu dikenal istilah Bola Gennea’ (rumah Sempurna). Terutama dalam hubungan filsafat dan pandangan hidup orang-orang Bugis yang disebut dengan Sulafa’ Eppa (persegi empat). Karena bentuk rumah harus persegi empat yang memiliki empat unsur kesempurnaan. Demikianpun bentuk kampung dahulu kala juga persegi empat. Orang-orang Bugis baru dikatakan sempurna dan lengkap kalau memiliki Sulafa’Eppa (laki-laki bersegi empat). Pribahasa dan Petuah Petitih: ”Iyyafa muabbaine mubolaifi Sulafa’ Eppa’e” berarti barulah engkau kawin kalau memiliki empat segi.
Seorang yang hendak bangun dari tidurnya, menyiapkan diri sebelum bangun, yang disebut mappatefu (melengkapi diri) supaya selamat menghadapi apapun juga. Dunia dan jagat semesta dipandang persegi empat.
Rumah barulah dianggap lengkap kalau tersediah tempat untuk :

* a. Tamu, Ialah ruangan bagian depan rumah.
* b. Kepala dan ibu rumah tangga, yaitu bagian tengah rumah, dimana terdapat juga posi’ bola lambang wanita dan kemakmuran.
* c. Anak-anak dan gadis-gadis dalam rumah tangga itu, bagian belakang.
* d. Para abdi (kalau ada), bahagiab belakan juga untuk wanita-wanita. Untuk laki-laki lazim ditempatkan di rumah kecil di saming atau di belakang induk rumah.


Jadi rumah bugis dibagi atas tiga bahagian yaitu :

* 1. Lontang risaliweng (bahagian depan)
* 2. Lontang Tengah (bahagian tengah) yang didinding dari bahagian depan.
* 3. Lontang ri laleng (bahagian dalam atau belakang)


Dalam memeliharah rumah dan rumah tangga, kampung dan negeri dipakai pedoman elompugi’ (nyanyioan Bugis yang mengandung makna yang mendalam sekali sebagai berikut:

Tapalla’-palla’ ri passirinna bolata tata-neng ade’.
Tafallimpo bunga fute.
Tuwo ade’ta mallimpo bunga futeta.

Arti lett. :
Mari kita memagari negara atau rumah kita dengan pagar adat.
Kita semarakkan keharuman seluruh isi negeri atau isi rumah kita.
Hidup adat kita, hidup mengaharum mewangi isi negeri atau rumah kita.

Sebagaimana negeri, kampung dan rumah, harus dipagari secara persegi empat, maka seseorang juga harus memagari dirinya dengan sulafa eppa yakni : Ade’, Rafang, Wari’, dan Tuppu (Adat, Yusrispudensi, Protokol, dan aturan chieracrchi).

Pappaseng (amanah) orang-orang Bugis dahulu terkenal, bahwa barang siapa yang pernah bernaung di pinggir rumah orang lain maka tidak diperbolehkan lagi berhati jahat terhadapnya : “Rekkua siya furami riyaccinaungi fassiringpolana seuwae tau, tempeddingngi rikira-kira rimaja’e.

Golongan bangsawan yang disebutkan di atas, dalam pergaulan sehari-hari oleh masyarakat disebut dengan sapaan, Datue, Bau, Petta, dan Puang. Namun kata puang ini juga diberikan sapaan kepada orang-orang yang dituakan atau dihormati serta sesama anak bangsawan yang mutlak menyapa kepada yang tua dengan kata Puang. Dan kata Daeng digunakan bagi yang bersatatus Tomadeceng, dalam menyapa sesamanya.

Inilah salah satu aspek budaya bagi masyarakat Bugis pada umumnya dan khususnya di Baringeng ini yang kemudian menjelma dalam system hubungan social dalam bentuk stratifikasi. Ia tumbuh dan berkembang hingga saat ini sebagai interaksi simbolik alam kehidupan masyarakat, sebagaimana masyarakat lainnya di berbagai golongan etnis di alam raya ini khususnya suku Bugis.

Seperti yan telah dipaparkan di muka bahwa penduduk yang mendiami Baringeng ini adalah 100% orang Bugis, maka dalam pergaulan sehari-hari mereka mernggunakan Bahasa Bugis. Demikian pula aspek kehidupan social lainnya dalam pergaulan sehari-hari di kalangan masyarakat Baringeng, pada umumnya warga yang berusia muda sangat menghormati orang-orang tua. Seperti misalnya dalam pergaulan, bila seorang anak yang sedang bercakap dengan orang yang seusia ayah atau ibunya, maka si anak tersebut akan selalu mengiringi ucapannya-ucapannya dengan kalimat atau ungkapan kata sesuai dengan status sosialnya, atau kata Puang, yaitu suatu ungkapan penghormatan yang biasa ditujukan kepaa golongan bangsawan. Demikian pula dalam penggunaan kata ganti yaitu :

* - Ada Cenga, yaitu untkaspan kata yang ditujukan kepada raja atau anak Bangsawan, atau orang yang status social lebih tinggi dari kita, seperti kata “Anutta Puang, Alen Petta Puang”.
* - Ada Makkarateng, artinya kata-kata yang diperuntukkan kepada yang sama derajatnya contoh kata “Idi’, anutta pada idi” kata pada idi ini tidak boleh kita katakana apabila kita berbincang dengan seorang raja atau bangsawan.
* - Ada Cuku’,artinya ucapan - ucapan yang diungkapkan raja, anak bangsawan kepada yang dibawahnya, seperti “iko, anummu”.

Penempatan ketiga kata ganti inilah biasa menjadi ukuran bagi masyarakat Bugis dalam arti “Misseng Bettuang” dan menjadi pengukuran dan penilaian orang/masyarakat.
Kehidupan social masyarakat yang masih nampak hingga kini di Baringeng ini yang masih nyata dan menonjol, ialah semangat kerja sama secara gorong royong, sebagai sosialisasi kebersamaan dalam bentuk kerja secara gotongroyong, seperti ketika terjadi atau adanya warga yang ditimpa musibah kematian, perkawinan, khitanan, mendirikan rumah baru, kegiatan-kegiataan keagamaan, serta menanam padi, dan sebagainya. Sifat gotong royong ini disebut ”Sibali reso atau Sibali Peri” yang bermakna sama-sama bekerja dan sama-sama menanggung resiko untuk kemaslahatan bersama.

Dalam kehidupan budaya, nampaknya masyarakat yang mendiami Baringeng ini tidak mempunyai perbedaan dengan kehidupan budaya pada kerajaan kecil lainnya yang merupakan bekas wilayah Kerajaan Soppeng pada khususnya dan pada daerah Bugis pada umumnya. Hal itu dapat dimengerti dan dipahami bahwa Baringeng ini adalah bekas daerah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Petta Baringeng. Namun yang menjadi kajian dalam penulisan dan penelitian ini adalah H. Andi Mappa Petta Baringeng.

Sebagaimana Baringeng ini mengenl berbagai macam seni budaya tradisional, seperti: seni tari, seni sastra dn seni musik. Seni tari yang sering dilakukan ialah Tari Padduppa artinya tarian yang dilakukan pada saat penjemputan tamu dikala ada pengantin atau perayaan atau menjemput tamu, yang datang pada acara itu. Seni sastra yang merupakan bagian tak terpisahkan dari seluruh rangkaian kegiatan komunikasi antara sesama baik dalam berkomunikasi menyampaikan maksud maupun dalam berkomunikasi dalam pembicaraan nasihat atau petua-petua leluhur, hal ini dimaksudkan adalah kata-kata “Galigo” kata sindiran yang bermakna.

Biasanya bentuk-bentuk “Galigo” dari Bahasa Lontara Bugis ini didengar pada saat ada peminanan / pelamaran, pesta perkawinan serta penerimaan tamu. Bukan hanya itu tap semua dapat dilakukan diucapkan dalam kehidupan berkomunikasi dengan sesamanya. Salah satu ucapan kata Galigo dikala kita menerima tamu ialah :

“Topole enre’ni’ mai ri bola, majeppu pole-inittu bola malappa, punnae bola massagena. talesso tatudang tejjali tettappere banna mase-mase”,

Makna yang terkandung di dalam ungkapan kata Galigo ini ialah Tuan rumah mengundang orang yang datang (tamunya) an menyampaikan kerelaannya menerima tamunya, kemudian merendahkan diri tidak punya apa-apa, namun yang ada adalah keakraban antara kita.

Oleh : Ambo Dalle
*Forum Facebook Wijanna Latemmamala

About the author

Admin
Donec non enim in turpis pulvinar facilisis. Ut felis. Praesent dapibus, neque id cursus faucibus. Aenean fermentum, eget tincidunt.

0 komentar:

Template by Clairvo Yance
Copyright © 2013 sang sejarawan and Blogger Themes.